Jumat, 04 Februari 2011

MANIFESTASI PENYAKIT SISTEMIK PADA RONGGA MULUT


Drg. Farah Dibayanti Noormaniah
Dr. Tetrawindu Agustiono Hidayatullah

Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Mataram


Banyak penyakit sistemik yang mempunyai manifestasi di rongga mulut. Rongga mulut dapat menjadi jendela tubuh kita karena banyak manifestasi pada rongga mulut yang menyertai penyakit sistemik. Kami telah mempelajari beberapa makalah/artikel/jurnal dan menggambarkan manifestasi mulut dari beberapa penyakit sistemik. Banyak lesi pada mukosa mulut, lidah, gingiva, gigi, periodontal, glandula salivarius, tulang wajah, kulit disekitar mulut yang terkait dengan penyakit sistemik umum.

Penyakit-penyakit darah
Anemia
Anemia defisiensi besi adalah penyakit darah yang paling umum. Manifestasi pada rongga mulut berupa atropik glossitis, mukosa pucat, dan angular cheilitis. Atropik glossitis, hilangnya papila lidah, menyebabkan lidah lunak dan kemerahan yang menyerupai migratori glossitis. Migratori glossitis, dikenal juga dengan sebutan geographic tongue, merupakan suatu kondisi lidah yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi 1-2% populasi. Hal tersebut mengakibatkan lesi kemerahan, non- indurasi, atropik dan dibatasi dengan sedikit peninggian pada lidah, pinggir yang nyata dengan warna yang bermacam-macam dari abu-abu sampai putih. Pada atropik glossitis, area-nya tidak mempunyai batas keratotik putih dan cenderung meningkat ukurannya daripada perubahan posisinya. Pada kasus yang lebih parah, lidah menjadi lunak. Angular cheilitis, terjadi pada sudut bibir, yang disebabkan karena infeksi candida albicans (1) menyebabkan kemerahan dan pecah-pecah, serta rasa ketidaknyamanan. Manifestasi Plummer-Vinson syndrome juga termasuk disfagi akibat ulserasi pharyngoesophageal. Komplikasi-komplikasi rongga mulut muncul bersamaan dengan anemia sickle sel berupa osteomyelitis salmonella mandibular yang tampak sebagai area osteoporosis dan erosi yang diikuti oleh osteosklerosis. Anesthesia atau paresthesia pada nervus mandibular, nekrosis pulpa asymptomatik mungkin juga dapat terjadi (2). Kondisi-kondisi tersebut semakin parah apabila terjadi proliferasi sumsum tulang yang hebat. Deformitas dentofacial yang berhubungan dicirikan secara radiograpfik sebagai area dengan penurunan densitas dan pola trabekular kasar yang paling mudah dilihat diantara puncak akar gigi dan batas bawah mandibula. Osteosklerosis dapat terjadi bersamaan dengan trombosis dan infarksi.

Leukimia
Komplikasi oral leukimia sering berupa hipertrofi gingiva, petechie, ekimosis, ulkus mucosa dan hemoragik (3). Keluhan yang jarang berupa neuropati nervus mentalis, yang dikenal dengan ”numb chin syndrome(4). Ulserasi palatum dan nekrosis dapat menjadi pertanda adanya mucormycosis cavum nasalis dan sinus paranasalis (5). Enam belas persen dan 7% anak dengan leukimia akut dilaporkan mengalami gingivitis dan mucositis (6). Infeksi bakterial rongga mulut, yang dapat menjadi sumber septisemia, merupakan hal yang sering dan harus segera dideteksi dan diobati secara agresif. Pengobatan leukimia dengan agen kemoterapi dapat mengakibatkan reaktivasi Herpes Simplex Virus (HSV) yang dapat mengakibatkan terjadinya mukositis. Namun mukositis akibat kemoterapi dapat terjadi tanpa reaktivasi HSV, karena penipisan permukaan mukosa dan/atau supresi sumsum tulang yang mengakibatkan invasi organisme oportunistik pada mukosa 

Multiple Myeloma (MM)
Bila MM melibatkan rongga mulut, biasanya berupa manifestasi sekunder pada rahang, terutama mandibula, yang dapat mengakibatkan pembengkakan rahang, nyeri, bebal, gigi goyah, fraktur patologik (7). Punched out lesions pada tengkorak dan rahang merupakan gambaran radiografik yang khas. Insidensi keterlibatan rahang pada MM sekitar 15 % (8). Karena MM mengakibatkan immunosupresi, maka timbul beberapa infeksi seperti oral hairy leukoplakia dan candidiasis (9). Timbunan amyloid pada lidah menyebabkan macroglossia (10).





Penyakit rheumatologik
Sjogren’s syndrome
Pasien Sjogren’s syndrome (SS) sering mengalami xerostomia dan pembengkakan kelenjar parotis (11). SS sering dihubungkan dengan arthritis reumatoid. Pada suatu penelitian (12), 88% pasien dengan SS mengalami abnormalitas aliran ludah pada submandibular/sublingual, dan 55% mengalami abnormalitas aliran kelenjar parotis. Pembengkakan kelenjar parotis atau kelenjar submandibular ditemukan pada 35% pasien SS. Xerostomia dapat dihubungkan dengan fissure tongue, depapilasi dan kemerahan yang terdapat pada lidah, cheilitis, dan candidiasi.
 
Fungsi menelan dan bicara menjadi sulit karena adanya xerostomia persisten. Parotitis bakterial yang biasanya disertai demam dan discharge purulen dari kelenjar juga dapat terjadi. Hal tersebut meningkatkan karies gigi, terutama pada servik gigi (13). Penting untuk mengenal SS dengan cepat dan merujuk ke dokter gigi karena karies gigi dapat berkembang cepat. Diagnosa sering dipastikan dengan biopsi glandula salivarius labialis minor. Secara histologik, terdapat infiltrat limfosit periduktal.
Scleroderma (Sclerosis sistemik progresif)
Scleroderma merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya sklerosis difus dari kulit, saluran gastrointestinal, otot jantung, paru-paru dan ginjal. Bibir pasien scleroderma tampak berkerut karena konstriksi mulut, menyebabkan kesulitan membuka mulut. Fungsi stomatognatik termasuk mulut dan rahang juga mengalami kesulitan. Fibrosis esophageal menyebakan hipotensi sphincter esophageal bawah dan gastroesophageal reflux, terjadi pada 75% pasien scleroderma (14). Disfagia dan rasa terbakar termasuk gejalanya. Mukosa mulut tampak pucat dan kaku. Telangietacsias multiple dapat terjadi. Lidah dapat kehilangan mobilitasnya dan menjadi halus seperti rugae palatal yang menjadi datar. Fungsi glandula saliva dapat menurun walaupun tidak separah Sjogren’s syndrome. Ligamen periodontal sering tampak menebal pada gambaran radiografik.
Lupus erythematosus (LE)
Lupus erythematosus terbagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan sistemik lupus erythematosus (SLE). Lesi-lesi mulut terjadi pada 25-50% pasien DLE dibandingkan dengan 7-26% pasien SLE (15). Pada DLE, lesi ini biasanya mulai tampak sebagai area keputihan irregular yang kemudian meluas kearah perife.
Setelah lesi ini meluas, bagian tengah daerah ini menjadi merah dan menjadi ulcer sedangkan bagian tepi meninggi dan hyperkeratotik. Lesi mulut lichen planus mirip lesi mulut pada DLE baik secara klinis maupun histologi (16). Kriteria histologik yang jelas harus dilakukan untuk membedakan keduanya.
Ulserasi mulut dan nasopharyngeal diketahui sebagai manifestasi diagnostik mayor pada SLE oleh American Rheumatism Association Commite on Diagnostic and Therapeutic Criteria. Ulserasi-ulserasi ini biasanya tidak menimbulkan nyeri dan melibatkan palatum(17). Lesi-lesi purpurik seperti ecchymosis dan petechiae juga dapat terjadi. Lebih dari 30% pasien SLE, sering melibatkan glandula saliva, yang mendorong terjadinya Sjogren’s syndrome sekunder dan xerostomia yang parah.          
Arthritis Rheumatoid
Sendi Temporomandibular (TMJ) sering terlibat dalam arthritis rheumatoid. Hal ini sering dicirikan dengan erosi pada condylus yang mengakibatkan berkurangnya gerakan mandibula dan disertai nyeri ketika digerakkan. Mulut kering dan pembengkakan kelenjar ludah dapat juga ditemukan pada pasien arthritis rheumatoid (18). Pada pasien-pasien tersebut dapat juga timbul SS sekunder. Fungsi rahang yang menurun penting untuk dilakukan rekonstruksi TMJ segera setelah penyakit utamanya terkontrol. Sendi prosthetik dapat menjadi solusi sementara pada pasien tersebut.

Penyakit Onkologi
Kanker Metastase
Tumor metastase rongga mulut dapat menyerang pada jaringan lunak atau keras. Namun hal ini sangat jarang, hanya sekitar 1% neoplasma maligna rongga mulut. Tumor lebih sering bermetastase ke rahang daripada jaringan lunak rongga mulut. Tumor pada rahang sering terdeteksi bila timbul keluhan bengkak, nyeri, paresthesia, atau setelah menyebar ke jaringan lunak. Secara keseluruhan, tempat tumor primer metastase ke rahang berasal dari payudara, sedangkan paru-paru merupakan tempat tumor primer tersering untuk metastase ke jaringan lunak rongga mulut. Pada laki-laki, paru-paru merupakan tempat primer tersering baik untuk metastase ke rahang dan jaringan lunak rongga mulut. Regio molar mandibula merupakan tempat metastase tersering. Pada 30% kasus, lesi metastase rongga mulut merupakan indikasi pertama adanya malignansi yang tidak terdeteksi dari tubuh (19).

Manifestasi awal metastase ke attached gingiva dapat menyerupai satu dari 3 macam lesi hyperplastik reaktif pada gingiva dan harus ditegakkan dengan biopsi. Fibroma ossifikasi perifer biasanya muncul dengan bentuk kecil, berbatas tegas, bermassa padat dengan dasar berbentuk sessile atau pedunculated pada margin gingiva bebas.
Lesi merah muda pucat sampai merah diatas dapat menjadi besar dan dapat terjadi pada semua umur (insidensi puncak pada umur 20 th). Tumor pyogenik atau ”pregnancy tumor”  yang mempunyai kecenderungan berdarah, juga dapat terjadi pada attached gingiva. Lesi ini biasanya kecil (diameter kurang dari 1cm), merah, dan berulserasi. Lesi lain yang juga kecil, berbatas tegas, bermassa padat merah gelap, sessile atau pedunculated pada attached gingiva adalah granuloma giant cell perifer (20). Sebagai kesimpulan, penting untuk mengetahui macam-macam tumor yang bermetastase ke rongga mulut.
Histiocytosis sel Langerhans (Histiocytosis X)
Histiocytosis sel Langerhans (HSL) mewakili spectrum ganguan klinik dari yang sangat agresive dan penyakit mirip leukemia parah pada bayi sampai lesi soliter pada tulang (21). Hilangnya tulang alveolar pada anak-anak dengan eksfoliasi prekok gigi susu harus diduga adanya HSL. HSL dapat juga terjadi pada usia remaja dan dewasa. Dari tulang-tulang rahang, mandibula yang paling sering terlibat. Tanda-tanda yang muncul adalah nyeri, pembengkakan, ulserasi, gigi tanggal (ompong). Gambaran radiografik menunjukkan gigi tampak melayang di udara (floating in air) dikelilingi daerah radiolusen yang luas. Hal ini berkaitan dengan hilangnya tulang alveolar yang cepat. Istilah granuloma eosinofilik tulang (eosinophilic granuloma of bone) digunakan bila lesi soliter ditemukan, namun lesi multipel dapat muncul kemudian (Gbr. 5).


Kelainan Endokrin
Diabetes Mellitus (DM)
Banyak manifestasi rongga mulut pada DM, beberapa diantaranya dapat diketahui sejak awal tahun 1862. Pada umumnya gejala-gejalanya tampak parah, dan sangat progresive pada pasien IDDM (Independent Insulin DM) yang tidak terkontrol dari ada pasien NIDDM yang terkontrol. Penelitian menunjukkan bahwa umur, lama penyakit, dan tingkat kontrol metabolik memegang peranan penting timbulnya manifestasi-manifestasi rongga mulut pasien diabetes daripada jenis diabetes apakah IDDM atau NIDMM (22). Sekitar sepertiga pasien diabetes mempunyai keluhan xerostomia yang mana hal ini berkaitan dengan menurunnya aliran saliva dan meningkatnya glukosa saliva. Kemudian, pembesaran glandula parotis bilateral difus, keras, yang disebut sialadenosis dapat timbul. Proses ini tidak reversibel meskipun metabolisme karbohidrat terkontrol baik. Perubahan pengecapan dan sindrom mulut terbakar juga dilaporkan pada pasien DM tak terkontrol. Xerostomia merupakan faktor predisposisi berkembangnya infeksi rongga mulut. Mukosa yang kering dan rusak lebih mudah timbulnya infeksi oportunistik oleh Candida albican. Candidiasis erytematosus tampak sebagai atropi papila sentral pada papila dorsal lidah dan terdapat pada lebih dari 30% pasien DM. Mucormycosis dan glossitis migratory benigna juga mempunyai angka insidensi yang tinggi pada IDDM di populasi umum (22).
Telah ditemukan bahwa terdapat insidensi yang tinggi karies gigi pada pasien dengan DM yang tidak terkontrol. Hal ini dihubungkan dengan tingginya level glukosa saliva dan cairan krevikuler. Penyembuhan luka yang tidak sempurna, xerostomia yang diikuti dengan penimbunan plak dan sisa makanan, kerentanan terhadap infeksi, dan hiperplasi attached gingiva, semua memberi kontribusi meningkatnya insidensi penyakit periodontal pada pasien diabetes (23).
Hypoparatiroidisme
Penurunan sekresi hormon paratiroid (PTH) dapat terjadi setelah pengambilan glandula paratiroid, begitu juga destruksi autoimun terhadap glandula paratiroid. Sindrom-sindrom yang jarang, seperti Digeorge Syndrome dan Endocrine-candidiasis syndrome sering dihubungkan dengan keadaan ini. Hipocalcemia terjadi mengikuti turunnya hormon paratiroid (24). Chvostek sign, tanda khas hipokalsemia, dicirikan dengan berkedutnya bibir atas bila nervus facialis diketuk tepat dibawah proccesus zygomaticus. Jika hipoparatiroid timbul di awal kehidupan, selama proses odontogenesis/pertumbuhan gigi, dapat terjadi hipoplasi email dan kegagalan erupsi gigi. Adanya candidiasis oral persisten pada pasien muda menunjukkan mulai terjadinya sindrom endocrine-candidiasis (25).
Hyperparatiroidisme
Manifestasi awal hiperparatiroid adalah hilangnya lamina dura di sekitar akar gigi dengan perubahan pola trabecular rahang yang muncul kemudian. Terdapat penurunan densitas trabecular dan kaburnya pola normal yang menghasilkan penampakan ”ground glass” pada gambaran radiografiknya (26). Dengan menetapnya penyakit, lesi tulang lainnya muncul, seperti hiperparatiroid ”brown tumor”. Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan yang mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan hemosiderin dalam tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini unilokuler atau multiloculer radiolusen yang berbatas tegas yang biasanya merusak mandibula, clavicula, iga, dan pelvis. Lesi ini soliter, namun lebih sering multipel. Lesi yan bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansi cortical yang nyata. Secara histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat jaringan granulasi vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multi-nucleated osteoclast-type giant cells. Hal ini identik dengan lesi lain yang dikenal dengan lesi giant cell sentral pada rahang.
Hypercortisolisme
Hypercortisolisme atau Cushing’s syndrome, berasal dari meningkatnya glukokortikoid darah yang terus-menerus. Hal ini juga bisa berkaitan dengan terapi kortikosteroid lain atau produksi berlebih endogen dari glandula adrenal. Horman adrenokorticotropik (ACTH) yang berlebih dari tumor pituitari juga menyebabkan hipercortisolisme dan penyakit Cushing’s. Penumpukan jaringan lemak di area wajah dikenal sebagai ”moon facies”.  Pasien juga  mengalami facial hirsutism yang bervariasi. Fraktur patologis mandibula, maxilla atau tulang alveolar juga dapat terjadi karena trauma benturan ringan akibat osteoporosis. Penyembuhan fraktur, begitu juga penyembuhan tulang alveolar dan jaringan lunak setelah pencabutan gigi menjadi tertunda.
Hypoadrenocortisisme
Hypoadrenocortisisme berasal dari kurangnya produksi horman kortikosteroid adrenal karena adanya kerusakan cortex adrenal, kondisi ini dikenal sebagai hypoadrenocortisisme primer atau Addison’s disease. Hal ini biasanya berkaitan dengan autoimmune, juga dapat disebabkan karena infeksi seperti tuberculosis, tumor metastase, amyloidosis, sarcoidosis atau hemochromatosis. Hypoadrenocortisisme sekunder berkembang karena fungsi glandula pituitary yang inadequate. Manifestasi orofacial termasuk A ”bronzing” hyperpigmentasi pada kulit, terutama  pada area yang paling banyak terpapar matahari (sun-exposed area).  Hal ini disebabkan karena meningkatnya kadar beta-lipotropin atau ACTH, yang keduanya dapat menstimulasi melanosit. Perubahan kulit ini didahului oleh melanosis mukosa mulut. Pigmentasi kecoklatan difus atau bercak sering terjadi di mukosa buccal, namun dapat terjadi di dasar mulut, ventral lidah dan bagian lain mukosa mulut.

Penyakit Ginjal
Uremik Stomatitis
Stomatitis Uremia cukup jarang, hanya sering ditemui pada gagal ginjal kronik yang tidak terdiagnosis atau tidak terobati. Kerak atau plak yang nyeri sebagian besar terdistribusi di mukosa bukal, dasar atau dorsal lidah, dan pada dasar rongga mulut. Angka insidensinya telah menurun seiring dengan tersedianya peralatan dialysis di banyak rumah sakit. Mekanisme yang diterima yang melatarbelakangi timbulnya uremik stomatitis yaitu luka pada mukosa dan iritasi kimia akibat senyawa amonia yang terbentuk dari hidrolisis urea oleh urease saliva. Hal ini terjadi bila konsentrasi urea intraoral melebihi 30 mmol/L (27). Diatesis hemoragik yang berasal dari inhibisi agregasi platelet dapat juga berperan dalam terjadinya hemoragik lokal, yang menyebabkan turunnya viabilitas dan vitalitas jaringan yang terkena, yang akhirnya menyebabkan infeksi bakteri.

Ada 2 jenis uremik stomatitis (27), pada tipe I, terdapat eritema lokal atau general di mukosa mulut, dan eksudat pseudomembran tebal abu-abu yang tidak berdarah/ulserasi bila diambil. Gejala lain dapat berupa nyeri, rasa terbakar, xerostomia, halitosis, perdarahan gingiva, dysgeusia, atau infeksi candida. Pada tipe II, dapat terjadi ulserasi bila pseudomembran tersebut diambil. Tipe ini dapat mengindikasikan bentuk stomatitis yang lebih parah, infeksi sekunder, anemia atau gangguan hematologik sistemik yang mendasari ayn disebabkan oleh gagal ginjal. Secara histologik, kedua tipe uremik stomatitis tersebut menunjukkan proses inflamtorik yang berat, dengan infiltrasi berat lekosit pmn dan nekrosis mukosa mulut. Kolonisasi bakteri yan sering ditemukan adalah Fusobacterium, spirochaeta, atau candida.
Penyakit Gastrointestinal
Chron’s Disease
Pada tahun 1969, manifestasi oral penyakit Chron’s digambarkan identik dengan yang terjadi di mukosa intestinal. Secara histologi, lesi ini mempunyai gambaran granuloma non-necrotik di submucosa, yang terdiri dari sel raksasa Langerhan multinuklear, sel epiteloid, limfosit, dan sel plasma. Granuloma-granulom ini dapat bervariasi dalam ukuran dan kedalamannya di submukosa, dan insidensinya bervariasi dari 10-99% (28). Kadang-kadang granuloma ini menonjol ke dalam lumen limfatik, suatu keadaan yang disebut ”limfangitis granulomatosa endovasal” (“endovasal granulomatous lymphangitis”) (29).

Secara klinik, pasien tersebut memiliki gejala pembengkakan difus pada satu atau kedua bibir, dengan angular cheilitis, dan ”cobblestone” pada mukosa buccal dengan mukosa yang rigid dan hiperplastik. Dapat juga terjadi nyeri ulserasi pada vestibulum bukal, pembengkakan terlokalisir yang tidak nyeri pada bibir atau wajah, fissure pada garis tengah bibir bawah, dan edema erythematos gingiva (30). Limfonodi servik dapat menjadi keras dan terpalpasi. Tidak ada hubungan waktu yang langsung antara intestinal dan lesi rongga mulut.  Lesi rongga mulut telah terbukti mendahului lesi intestinal selama bertahun-tahun, dan pada beberapa kasus dapat menjadi satu-satunya manifestasi penyakit Chron’s. Lesi rongga mulut hanya dapat berefek dengan steroid sistemik.

Kolitis Ulseratif
Kolitis Ulseratif telah dihubungkan dengan ulserasi oral destruktif akibat dari immunemediated vasculitis (31). Penyakit ini mirip dengan ulser aphtosa, namun lebih jarang dari Chron’s Disease. Pyostomatitis vegetans merupakan manifestasi oral dari colitis ulseratif, berwujud mikroabses intraepitelial multipel tanpa nyeri  dalam garis lurus atau berkelok-kelok di mukosa lidah, soft palatum, ventral lidah. Pyostomatitis gangrenosum merupakan varian lain yang cukup hebat dengan ulser yang besar, destruktif, dan bertahan lama yang menimbulkan jaringan parut yang sangat nyata (32).

Kesimpulan
Penyakit sistemik sering muncul dengan abnormalitas struktur rahang dan rongga mulut. Pemahaman yang tepat tentang penyakit rongga mulut dapat mendukung pelacakan, penegakan dianosis dan pengobatan penyakit sistemik yang mendasarinya. Diagnosis yang tepat penting untuk memulai pengobatan yang benar. Dokter pada pelayanan primer serta dokter gigi sebaiknya mengetahui masalah tersebut.






Tinjauan Pustaka

1. Zegarelli DJ. Fungal infections of the oral cavity. Otolaryngol Clin North Am 1993; 26:1069-1089.
2. Kelleher M, Bishop K, Briggs P. Oral complications associated with sickle cell anemia: A review and case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:225-228.
3. Lynch MA, Ship II. Initial oral manifestations of leukaemia. J Am Dent Assoc 1967; 75:932-940.
4. Hiraki A, Nakamure S, Abe K, et al. Numb chin syndrome as an initial symptom of acute lymphocytic leukemia: Report of three cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:555-561.
5. Jones AC, Bentsen TY, Freedman PD. Mucormycosis of the oral cavity. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:455-460.
6. Childers NK, Stinnett EA, Wheeler P, et al. Oral complications in children with cancer. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:41-47.
7. Lee S, Huang J, Chan C. Gingival mass as the primary manifestation of multiple myeloma: Report of two cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:75-79.
8. Witt C, Borges AC, Klein K, Neumann H. Radiographic manifestations of multiple myeloma in the mandible: A retrospective study of 77 patients. J Oral Maxillofac Surg 1997; 55:450-453.
9. Blomgren J, Back H. Oral hairy leukoplakia in a patient with multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:408-410.
10. Reinish EI, Raviv M, Srolovitz H, Gornitsky M. Tongue, primary amyloidosis, and multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1994; 77:121-125.
11. Lilly JP, Fotos PG. Sjogren's syndrome: Diagnosis and management of oral complications. Gen Dent l996; 44:404-408.
12. Daniels TE. Sjogren's syndrome: Clinical spectrum and current diagnostic controversies. Adv Dent Res l996; 10:3-8.
13. Atkinson JC, Fox PC. Sjogren's syndrome: Oral and dental considerations. J Am Dent Assoc 1993; 124:74-86.
14. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 878-879
15. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 800-801.
16. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 93-94.
17. Cohen AS, Canoso JJ. Criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1972; 15:540-543.
18. Gynther GW, Tronje G, Holmlund AB. Radiographic changes in the temporomandibular joint in patients with generalized osteoarthritis and rheumatoid arthritis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 81:613-618.
19. Hirshberg A, Leibovich P, Buchner A. Metastatic tumors to the jawbones: Analysis of 390 cases. J Oral Pathol Med 1994; 23:337-341.
20. Bodner L, Peist M, Gatot A, Fliss DM. Growth potential of peripheral giant cell granuloma. Ora1 Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:548-551.
21. Cleveland DB, Goldberg KM, Greenspan JS, et al. Langerhans' cell histiocytosis: report of three cases with unusual oral soft tissue involvement. Oral Surg Ora1 Med Oral Pathol Ora1 Radiol Endod 1996; 82:541-548.
22. Oliver RC, Tervonen T, Flynn DG. Enzyme activation in crevicular fluid in relation to metabolic control of diabetes and other risk factors. J Periodontol 1993; 64:358-362.
23. Falk H, Hugoson A, Thorstensson H. Number of teeth, prevalence of caries and periapical lesions in insulin-dependent diabetics. Scand J Dent Res 1989; 97:198-206.
24. Spiegel AM. Hypoparathyroidism. In: Wyngaarden JB, Smith LH Jr, Bennett JC, editors. Cecil’s textbook of medicine. Philadelphia: W.B. Saunders; 1992. pp. 1419-1420.
25. Walls AWG, Soames JV. Dental manifestations of autoimmune hypoparathyroidism. Oral Surg Oral Med Oral Path 1993; 75:445-452.
26. Hayes CW, Conway WF. Hyperparathyroidism. Radiol Clin North Am 1991; 29:85-96.
27. Ross WF, Salisbury PL. Uremic stomatitis associated with undiagnosed renal failure. Gen Dent 1994; 9/10:410-412.
28. Giller JP, Vinciguerra M, Heller A, et al. Treatment of gingival Crohn=s disease with laser therapy.N Y State Dent J 1997; 5:32-35.
29. Eveson JW. Granulomatous disorders of the oral mucosa. Semin Diagn Pathol 1996; 13(2):118-127.
30. Williams AJK, Wray D, Ferguson A. The clinical entity of orofacial Crohn=s disease. Q J Med 1991; 289:451-458.
31. Beitman RG, Frost SS, Roth JLA. Oral manifestations of gastrointestinal disease. Dig Dis Sci 1981; 26(8):741-747.
32. Tyldesley WR. Mouth lesions as markers of gastrointestinal disease. Practitioner 1983; 227:587-590.


Senin, 10 Januari 2011

Trauma Toraks II: Kelainan Spesifik


TRAUMA PADA DINDING DADA

FRAKTUR IGA
Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.
Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula.


Penatalaksanaan
  1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
  2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)
  3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
  • Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
  • Bronchial toilet
  • Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
  • Cek Foto Ro berkala
 
Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti: pneumotoraks, hematotoraks dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam jiwa secara langsung, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro berkala), sehingga dapat menghindari morbiditas/komplikasi.
Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia, yang umumnya akibat manajemen analgetik yang tidak adekuat.
 
 
FRAKTUR KLAVIKULA
  • Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai trauma pada sendi bahu ).
  • Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah)
  • Deformitas, nyeri pada lokasi taruma.
  • Foto Rontgen tampak fraktur klavikula
 
Penatalaksanaan
  1. Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian analgetika.
  2. Operatif : fiksasi internal
 
Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia.
 
 
FRAKTUR STERNUM
  • Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan.
  • Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar
  • Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum
  • Sering disertai fraktur Iga.
  • Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan yang serius, seperti: kontusio/laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau aorta.
 
Tanda dan gejala: nyeri terutama di area sternum, krepitasi
Pemeriksaan
  • Seringkali pada pemeriksaan Ro toraks lateral ditemukan garis fraktur, atau gambaran sternum yang tumpang tindih.
Pemeriksaan EKG : 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda trauma jantung).

Penatalaksanaan
  1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung
  2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum.
 
 
DISLOKASI SENDI STERNOKLAVIKULA
  • Kasus jarang
  • Dislokasi anterior : nyeri, nyeri tekan, terlihat "bongkol klavikula" (sendi sternoklavikula) menonjol kedepan
  • Posterior : sendi tertekan kedalam
  • Pengobatan : reposisi
 
 
FLAIL CHEST
Definisi
Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap iganya.
Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.
 

Karakteristik
  • Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam ventilator
  • Menunjukkan trauma hebat
  • Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
 
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.
 
Penatalaksanaan
  • sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD berkala dan takipneu
  • pain control
  • stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
  • bronchial toilet
  • fisioterapi agresif
  • tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
 
Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
  1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)
  2. Gagal/sulit weaning ventilator
  3. Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
  4. Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
  5. Menghindari cacat permanen
 
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area "flail"
 
 
TRAUMA PADA PLEURA DAN PARU
 
PNEUMOTORAKS
Definisi : Adanya udara yang terperangkap di rongga pleura.

  • Pneumotoraks akan meningkatkan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru.
  • Terjadi karena trauma tumpul atau tembus toraks.
  • Dapat pula terjadi karena perlukaan pleura viseral (barotrauma), atau perlukaan pleura mediastinal (trauma trakheobronkhial)
  • Diklasifikasikan menjadi 3 : simpel, tension, open
 
Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
  • Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
  • Tidak ada mediastinal shift
  • PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓
 
Penatalaksanaan: WSD
 
Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
  • Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea  venous return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
  • Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, JVP ↑, asimetris statis & dinamis
  • Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu Ro
 
Penatalaksanaan:
  1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
  2. WSD
 
Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar.
Dikenal juga sebagai sucking-wound
Terjadi kolaps total paru.
 
Penatalaksanaan:
  1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
  2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
  3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
  4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)
 

HEMATOTORAKS (HEMOTORAKS)
 
  • Defini: Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada.
  • Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.
  • Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi. Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan depresi pernapasan
 
Pemeriksaan
  • Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)
  • Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru
  • Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks
 
Indikasi Operasi
Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD)
  • Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah kejadian trauma.
  • Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut
  • Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut
  • Perdarahan > 8cc/kgBB/jam dalam 1 jam
 
Bila berat badan dianggap sebagai 60 kg, maka indikasi operasi, bila produksi WSD:
  • ≥ 200 cc/jam dalam 3 jam berturut-turut
  • ≥ 300 cc/jam dalam 2 jam berturut-turut
  • ≥ 500 cc dalam ≤ 1 jam
 
Penatalaksanaan
Tujuan:
  • Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya.
  • Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.

Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk menghentikan perdarahan


Water Sealed Drainage
 
Fungsi WSD sebagai alat:
  1. Diagnostik
  2. Terapetik        
  3. Follow-up
 
Tujuan:
  1. Evakuasi darah/udara
  2. Pengembangan paru maksimal
  3. Monitoring
 
Indikasi pemasangan:
  • Pneumotoraks
  • Hematotoraks
  • Empiema
  • Effusi pleura lainnya
  • Pasca operasi toraks
  • Monitoring perdarahan, kebocoran paru atau bronkhus, dsb.
 
Tindakan :
  • Lokasi di antara garis aksilaris anterior dan posterior pada sela iga V atau VI.
  • Pemasangan dengan teknik digital tanpa penggunaan trokar.
 
Indikasi pencabutan WSD :
  1. Tercapai kondisi: produksi < 50 cc/hari selama 3 hari berturut-turut, dan undulasi negatif atau minimal, dan pengembangan paru maksimal.
Fungsi WSD tidak efektif lagi (misal: adanya sumbatan, clot pada selang, dsb.)

KONTUSIO PARU
  • Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks
  • Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme perdarahan dan edema parenkim konsolidasi
  • Patofisiologi : kontusio/cedera jaringan edema dan reaksi inflamasi → lung compliance ventilation-perfusion mismatch hipoksia & work of breathing
 
Diagnosis : ro toraks dan pemeriksaan lab (PaO2 ↓)
Manifestasi klinis dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma
 
Penatalaksanaan
Tujuan:
  • Mempertahankan oksigenasi
  • Mencegah/mengurangi edema
Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)
 
 
LASERASI PARU
Definisi : Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma tumpul keras yang disertai fraktur iga.
Manifestasi klinik umumnya adalah : hemato + pneumotoraks
 
Penatalaksanaan umum : WSD
Indikasi operasi :
  • Hematotoraks masif (lihat hematotoraks)
  • Adanya contiuous buble pada WSD yang menunjukkan adanya robekan paru
  • Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas
RUPTUR DIAFRAGMA
 
  • Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah toraks inferior atau abdomen atas.
  • Trauma tumpul di daerah toraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut.
  • Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intratoraks ata intraabdominal).
  • Ruptur umumnya terjadi di "puncak" kubah diafragma (sentral)
  • Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri lebih sering daripada diafragma kanan
  • Akan terjadi herniasi organ viseral abdomen ke toraks
  • Dapat terjadi ruptur ke intra perikardial
 
Diagnostik
  • Riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen
  • Tanda dan gejala klinis (sesak/respiratory distress), mual-muntah, tanda abdomen akut)
  • Ro toraks dengan NGT terpasang (pendorongan mediastinum kontralateral, terlihat adanya organ viseral di toraks)
  • CT scan toraks
 
Penatalaksanaan
Torakotomi eksplorasi (dapat diikuti dengan laparotomi)
 
 
TRAUMA ESOFAGUS
 
Penyebab trauma/ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus.
Pemeriksaan Ro toraks: Terlihat gambaran pneumomediastinum atau efusi pleura
Diagnostik: Esofagografi
Tindakan: Torakotomi eksplorasi
 
 
TRAUMA JANTUNG
 
Kecurigaan trauma jantung :
  • Trauma tumpul di daerah anterior
  • Fraktur pada sternum
  • Trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, grs mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri)
 
Diagnostik
  • Trauma tumpul : EKG, pemeriksaan enzim jantung (CK-CKMB / Troponin T)
  • Foto toraks : pembesaran mediastinum, gambaran double contour pada mediastinum menunjukkan kecurigaan efusi perikardium
  • Echocardiography untuk memastikan adanya effusi atau tamponade
 
Penatalaksanaan
  1. Adanya luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi emergency
  2. Adanya tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi.
  3. Adanya kecurigaan trauma jantung mengharuskan perawatan dengan observasi ketat untuk mengetahui adanya tamponade
 
Komplikasi
Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel beberapa bulan/tahun pasca trauma.



Pembedahan Pada Kelainan Pleura

Abstracts
Purpose: Presenting the surgical case of pleural diseases (Diagnosis, etiology and surgical procedure)

Methods: Retrospective review of surgical management of pleural diseases from January 1995-December 2004 in Persahabatan Hospital, Jakarta

Results: there were 105 patients, seventy nine patients who underwent surgery were caused by infection (49 cases were tuberculous empyema, 26 cases were non tuberculous empyema, 3 cases were bronchopleural fistula and one case was pleurocutaneous fistula).  Various type of surgery was performed in pleural infection patients are many: opened drainge, decortication, airplombage, thoracoplasty, pleurectomy, pleuropneumonectomy and video assisted thoracoscopic surgery (VATS).  Ten patients with hemothorax were caused by trauma, exploratory thoracotomy was done in most and two patients was performed by VATS.
Five patients of pleural diseases underwent surgery were spontaneous pneumothorax had a VATS and four patients were rupture of pulmonary bullae had a bullectomy by posterolateral thoracotomy.
Two patients with chylothorax had a thoracic duct ligation. There were 3 pleural malignancy patients (3 cases were mesothelioma and 2 cases as a malignant pleural effusion), pleurectomy and pneumopleurectomy was performed for mesothelioma, closed drainage for malignant pleural effusion.
There were 13 successfully VATS for pleural diseases, no post operative complications and early mobilization.
Conclusion: most of surgical case of pleural diseases are infectious caused.  The success of VATS for surgical treatment of pleural diseases was initially revolution for radical surgery for easy procedure.

PENDAHULUAN
Pembedahan pada penyakit pleura sudah dimulai sejak berkembangnya spesialisasi bedah Toraks dan kasus yang sering ditemui adalah infeksi pada rongga pleura.
Dengan berkembangnya pengobatan khemoterapi diharapkan tindakan bedah akan berkurrang, namun sebaliknya karena makin banyaknya ditemui penyakit autoimunitas dan penggunaan antibiotika yang tidak tepat dan tidak sempurna sehingga angka kejadian penyakit infeksi pada pleura meningkat kembali, den banyak usaha-usaha bedah ditingkatkan untuk mengatasi hal ini sehingga timbul macam-macam jenis operasi yang dikembangkan dari tindakan yang radikal sampai ke tindakan minimal invasif seperti Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) untuk pengobatan penyakit pleura.
Akan dilaporkan  tindakan pembedahan terhadap penyakit pleura yang dilakukan di RS Persahabatan Jakarta dalam kurun waktu 10 tahun (Januari 1995 - Desember 2004) dan tinjauan kepustakaan.

PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks adalah adanya udara didalam rongga pleura, akibat robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau karena trauma.
Rhea (1982), membuat klasifikasi pneumotoraks atas dasar prosentase pneumotoraks, kecil bila pneumotoraks < 20%, sedang bila pneumotoraks 20% - 40% dan besar bila pneumotoraks > 40%.

Pada pneumotoraks kecil ( < 20%), gejala minimal dan tidak ada "Respiratory distress", serangan yang pertama kali, sikap kita adalah observasi dan penderita istirahat 2-3 hari. Bila pneumotoraks sedang, ada "Respiratory distress" atau pada observasi nampak progresif (foto toraks), atau adanya "Tension pneumothorax", dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan WSD untuk pengembangan paru dan mengatasi gagal nafas.

Tindakan torakotomi dilakukan bila :
  1. Kebocoran paru yang massif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae / fistel Bronkhopleura).
  2. Pneumotoraks berulang.
  3. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).
  4. Pneumotoraks bilateral.
  5. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah terpencil)
 
Teknik bedah
Pendekatan melalui torakotomi anterior, torakotomi posterolateral dan sternotomi mediana, selanjutnya dilakukan reseksi bleb, bulektonomi, subtotal pleurektomi. Parietalis dan Aberasi pleura melalui video Assisted Thoracoscopic surgery (VATS), dilakukan reseksi bleb, aberasi pleura dan pleurektonomi.
 
HEMOTORAKS
Hemotoraks adalah adanya darah didalam rongga plaura, terjadi terutama karena trauma.
Tindakan bedah yang dilakukan adalah pemasangan WSD untuk evakuasi darah atau hematoma dari dalam rongga pleura.
Indikasi Torakotomi apabila:
1.                  Perdarahan massif (jumlah produksi darah yang diukur melalui WSD >750 cc)
2.                  Pada observasi bila produksi darah setelah pemasangan WSD lebi dari 3-5 cc/kg BB/jam atau 3-5 cc/kg BB/jam selam 3 jam berturut-turut.
Bila kita memiliki fasilitas, sarana dan kemampuan tindakan VATS sangat baik, dengan VATS dapat dilakukan evakuasi Hematoma/darah dan penjahitan fistula/robekan paru serta aberasi pleura panetalis. Keuntungan tindakan ini adalah penderita cepat mobilisasi.
 

EMPIEMA
Empiema adalah efusi pleura yang terinfeksi oleh mikroba. Empiema paling sering terjadi karena pneumonia (infeksi paru) yang penanganannya tidak sempurna, dapat terjadi karena trauma, "rupture esophaqus" juga karena ekstensi infeksi sub diaphragma seperti abses hepar.

Prinsip penanggulangan empiema adalah :
  1. Drainase / mengeluarkan nanah sebanyak-banyaknya.
  2. Obliterasi rongga empiema.
  3. Pemberian antibiotika yang adekuat baik jenis, dosis dan waktu.
Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema ,

fase I (fase eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai tujuan diagnostik terapi dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran cairan tersebut dapat dicapai pengembangan paru yang sempurna.

fase II (fase fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan drainase terbuka (reseksi iga/ "open window") . Dengan cara ini nanah yang ada dapat dikeluarkan dan perawatan luka dapat dipertahankan.  Drainase terbuka juga bertujuan untuk menunggu keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih tenang sehingga intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan.
Pada fase II ini VATS surgery sangat bermanfaat, dengan cara ini dapat dilakukan empiemektomi dan/atau dekortikasi.

fase III (fase organisasi)
Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas mengembang atau dilakukan obliterasi rongga empiema dengan cara dinding dada dikolapskan (Torakoplasti) dengan mengangkat iga-iga sesuai dengan besarnya rongga empiema, dapat juga rongga empiema disumpel dengan periosteum tulang iga bagian dalam dan otot interkostans (air plombage), dan disumpel dengan otot atau omentum (muscle plombage atau omental plombage)
Pada empiema tuberkulosa, torakotomi dilakukan bila keadaan sudah tidak didapat kuman baik pada sputum maupun cairan pleura dimana bakeri tahan asam (BTA) pada sputum dan cairan pleura sudah negatif. Untuk mencapai sputum dan cairan pleura negatif diberikan obat anti TB yang masih sensitif secara teratur dan untuk mencapai cairan pleura BTA negatif dapat dilakukan reseksi iga (window and qauzing) bila keadaan paru sangat rusak (menjadi sarang kuman TB) dilakukan reseksi paru (pneumonektomi atau lobektomi).
 
CHYLOTHORAX
Chylothorax adalah akumulasi cairan limphe yang berlebihan di dalam rongga pleura karena kebocoran dari duktus torasikus atau cabang-cabang utamanya. Obstruksi atau laserasi duktus torasikus yang paling sering disebabkan oleh keganasan, trauma, tuberkulosa dan trombosis vena.
Cairan "chylus" khas putih seperti susu tidak berbau dan bersifat alkalis,pada kondisi puasa produksi minimal dan menjadi produktif  setelah makan makanan berlemak. Komposisi terutama adalah fat 14-210 mmol/L (60%-70% lemak yang diserap usus masuk ke dalam duktus torasikus) protein dan elektrolit.

Penatalaksanaan:
  1. Konservatif, dengan cara: pemberian diet dan nutrisi yang adekuat (rendah lemak), koreksi cairan dan elektrolit dan drainase tertutup (WSD).
  2. Intervensi bedah

Tindakan bedah dilakukan bila lebih dari 14 hari tindakan konservasif tidak berhasil, dari kepustakaan 25% kebocoran akan menutup secara sepontan dalam interval waktu 14 hari dan 75% butuh intervensi bedah.

Teknik bedah
  • ligasi langsung pada duktus toraksikus.
  • "supra diaphragmatic mass ligaton".
  • Pleuroperitoneal shunting.
  • Pleurodesis dan pleurectomi.
  • Anastomosis duktus ke V azugos.
  • Dekortikasi.
  • Fibrine glue.
  • VATS.
 
KEGANASAN PLEURA
Keganasan pada pleura meliputi "mesothelioma" dan "maliginant pleural effusion".
Tindakan pada keganasan pleura adalah.
1      WSD + pleurodesis.
2      Pleurektomi.
3      Mechanical pleurodesis
4      Pleuroperitoneal Shunt.
PEMBEDAHAN PADA KELAINAN PLEURA DI RS. PERSAHABATAN JAKARTA
 
Dilakukan studi retrospektif terhadap 105 pasien dengan penyakit pleura yang dioperasi dalam kurun waktu Januari 1995 - Desember 2004.

Tabel 1. Distribusi dari 105 pasien dengan peyakit pleura yang dilakukan pembedahan.
Diagnosa                                                                                             Jumlah
Empiema
- Tuberkolusa                                                                                             49
- Non tuberkolusa                                                                                      26
Fistel Bronkhopleura                                                                                   3
Fistel Pleurokutaneus                                                                                 1
Pneumotoraks
- Pneumotoraks Spontan                                                                           5
- Bulla yang pecah                                                                                     4
Hemotoraks                                                                                             10
(Trauma)
Chylothorax                                                                                               2
Keganasan Pleura
Mesotelioma                                                                                              3
Efusi Pleura ganas                                                                                    2
 
 
 Tabel 2. Prosedur bedah yang dilakukan pada 79 kasus infeksi pleura.
Jumlah Kasus
Torakoplasti                                                                                              3
Dekortikasi                                                                                             33
Decortation Pulmonany Detachement (DPD)                                          22
Pleuropneumonektomi + Torakoplasti                                                      1
Pleurektomi + fistulektomi                                                                        1
Operasi 2 tahap
- Drainase terbuka & torakoplasti                                                           4
- Drainase terbuka & dekortikasi                                                            4
- Drainase terbuka + DPD + air plombage                                              5
Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)                                         6 
 
 
Tabel 3.Prosedur bedah yang dilakukan pada 26 kasus penyakit
pleura non infeksi.
                                                    WSD         Torakotomi           VATS
Pneumotoraks
      Pneumotoraks Spontan                                                                            5
Bulla yang pecah                                                                      4
Hemotoraks                                                                             8                     2
Chylothorax                                                                             2
Keganasan pleura
       Mesotelioma                                                                      3
       Efusi pleura ganas                                          2
 
Dari data yang dikumpulkan tercatat lama perawatan pada penderita yang dilakukan operasi konvesional antara 15-36 hari sedangkan yang dilakukan tindakan VATS penderita dirawat antara 5-7 hari.
Dari 105 penderita yang dioperasi didapat kematian penderita pasca bedah 2 orang (1,9%) yaitu kasus destroyed lung (tuberkulosa) "fungus ball" + MDR setelah dilakuakn operasi Reseksi, pasca bedah terjadi komplikasi fistel bronkhopleura.
 
RINGKASAN
Telah dibicarakan penatalaksanaan bedah pada kasus penyakit pleura serta laporan pembedahan pada 105 kasus penyakit pleura yang dilakukan di RS Persahabatan Jakarta kurun waktu Januari 1994-Desember 2004 kasus infeksi lebih banyak ditemukan dan beracam-macam jenis operasi telah dilakukan.
Perawatan pasca bedah pada tindakan Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) ternyata lebih cepat dibandingkan dengan tindakan yang lain dan hasilnya baik karena tidak ditemui komplikasi pasca bedah dan mobilisasi lebih awal.
 
KEPUSTAKAAN
  1. Baue .A.E, Geha, A..S, Hammond G.L, Laks. H, Naunheius K.S, Glenn's Thorac  and Cardhovascular Surgery 6th ed, Prantile Hall International inc, London 1996.
  2. Chon L.W, Doty D.B, Mc Elvein R.B,. Decision Making in Cardiothoracic SurgeryBC Decker inc, Toronto 1987. 
  3. Ismid D.I. Busroh.      Pembedahan Pada Empiema Tuberkulosis, Empiema Toraks penanganan bedah terkini 2002 ; 41 -  46 
  4. Kukuh B. Rachmad. Dasar Pembedahan Pada Empiema Toraks, Empiema Toraks Penanganan bedah terkini 2002 ; 35 - 40.
  5. Pearson F.G, Cooper. J.D, Deslauriers J., Gingberg R.J., Hiebert C.A, Petterson G.A., Urschek HC, Thoracic Surgery, 2nd  ed, Churchill  Livingstone, Philadelphia 2002.
Sabiston DC., Spencer F.C,. Surgery of The Chest 5th ed, WB Saunders. Philadelphia .1991