Senin, 10 Januari 2011

Trauma Toraks II: Kelainan Spesifik


TRAUMA PADA DINDING DADA

FRAKTUR IGA
Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks dan intra abdomen.
Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula.


Penatalaksanaan
  1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
  2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)
  3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:
  • Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
  • Bronchial toilet
  • Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
  • Cek Foto Ro berkala
 
Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti: pneumotoraks, hematotoraks dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam jiwa secara langsung, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat (analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro berkala), sehingga dapat menghindari morbiditas/komplikasi.
Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia, yang umumnya akibat manajemen analgetik yang tidak adekuat.
 
 
FRAKTUR KLAVIKULA
  • Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai trauma pada sendi bahu ).
  • Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah)
  • Deformitas, nyeri pada lokasi taruma.
  • Foto Rontgen tampak fraktur klavikula
 
Penatalaksanaan
  1. Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian analgetika.
  2. Operatif : fiksasi internal
 
Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan pleksus brakhialis dan pembuluh darah subklavia.
 
 
FRAKTUR STERNUM
  • Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan.
  • Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar
  • Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum
  • Sering disertai fraktur Iga.
  • Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan yang serius, seperti: kontusio/laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau aorta.
 
Tanda dan gejala: nyeri terutama di area sternum, krepitasi
Pemeriksaan
  • Seringkali pada pemeriksaan Ro toraks lateral ditemukan garis fraktur, atau gambaran sternum yang tumpang tindih.
Pemeriksaan EKG : 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda trauma jantung).

Penatalaksanaan
  1. Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung
  2. Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada organ atau struktur di mediastinum.
 
 
DISLOKASI SENDI STERNOKLAVIKULA
  • Kasus jarang
  • Dislokasi anterior : nyeri, nyeri tekan, terlihat "bongkol klavikula" (sendi sternoklavikula) menonjol kedepan
  • Posterior : sendi tertekan kedalam
  • Pengobatan : reposisi
 
 
FLAIL CHEST
Definisi
Adalah area toraks yang "melayang" (flail) oleh sebab adanya fraktur iga multipel berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap iganya.
Akibatnya adalah: terbentuk area "flail" yang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan dinding dada. Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi.
 

Karakteristik
  • Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam ventilator
  • Menunjukkan trauma hebat
  • Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)
 
Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.
 
Penatalaksanaan
  • sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui pemeriksaan AGD berkala dan takipneu
  • pain control
  • stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)
  • bronchial toilet
  • fisioterapi agresif
  • tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet
 
Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:
  1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)
  2. Gagal/sulit weaning ventilator
  3. Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)
  4. Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)
  5. Menghindari cacat permanen
 
Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area "flail"
 
 
TRAUMA PADA PLEURA DAN PARU
 
PNEUMOTORAKS
Definisi : Adanya udara yang terperangkap di rongga pleura.

  • Pneumotoraks akan meningkatkan tekanan negatif intrapleura sehingga mengganggu proses pengembangan paru.
  • Terjadi karena trauma tumpul atau tembus toraks.
  • Dapat pula terjadi karena perlukaan pleura viseral (barotrauma), atau perlukaan pleura mediastinal (trauma trakheobronkhial)
  • Diklasifikasikan menjadi 3 : simpel, tension, open
 
Pneumotoraks Simpel
Adalah pneumotoraks yang tidak disertai peningkatan tekanan intra toraks yang progresif.
Ciri:
  • Paru pada sisi yang terkena akan kolaps (parsial atau total)
  • Tidak ada mediastinal shift
  • PF: bunyi napas ↓ , hyperresonance (perkusi), pengembangan dada ↓
 
Penatalaksanaan: WSD
 
Pneumotoraks Tension
Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil (udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).
Ciri:
  • Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru, mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea  venous return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.
  • Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi, JVP ↑, asimetris statis & dinamis
  • Merupakan keadaan life-threatening tdk perlu Ro
 
Penatalaksanaan:
  1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)
  2. WSD
 
Open Pneumothorax
Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan udara luar.
Dikenal juga sebagai sucking-wound
Terjadi kolaps total paru.
 
Penatalaksanaan:
  1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)
  2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka
  3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.
  4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)
 

HEMATOTORAKS (HEMOTORAKS)
 
  • Defini: Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada dada.
  • Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.
  • Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi. Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan depresi pernapasan
 
Pemeriksaan
  • Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)
  • Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru
  • Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks
 
Indikasi Operasi
Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD)
  • Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah kejadian trauma.
  • Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut
  • Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut
  • Perdarahan > 8cc/kgBB/jam dalam 1 jam
 
Bila berat badan dianggap sebagai 60 kg, maka indikasi operasi, bila produksi WSD:
  • ≥ 200 cc/jam dalam 3 jam berturut-turut
  • ≥ 300 cc/jam dalam 2 jam berturut-turut
  • ≥ 500 cc dalam ≤ 1 jam
 
Penatalaksanaan
Tujuan:
  • Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya.
  • Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.

Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk menghentikan perdarahan


Water Sealed Drainage
 
Fungsi WSD sebagai alat:
  1. Diagnostik
  2. Terapetik        
  3. Follow-up
 
Tujuan:
  1. Evakuasi darah/udara
  2. Pengembangan paru maksimal
  3. Monitoring
 
Indikasi pemasangan:
  • Pneumotoraks
  • Hematotoraks
  • Empiema
  • Effusi pleura lainnya
  • Pasca operasi toraks
  • Monitoring perdarahan, kebocoran paru atau bronkhus, dsb.
 
Tindakan :
  • Lokasi di antara garis aksilaris anterior dan posterior pada sela iga V atau VI.
  • Pemasangan dengan teknik digital tanpa penggunaan trokar.
 
Indikasi pencabutan WSD :
  1. Tercapai kondisi: produksi < 50 cc/hari selama 3 hari berturut-turut, dan undulasi negatif atau minimal, dan pengembangan paru maksimal.
Fungsi WSD tidak efektif lagi (misal: adanya sumbatan, clot pada selang, dsb.)

KONTUSIO PARU
  • Terjadi terutama setelah trauma tumpul toraks
  • Dapat pula terjadi pada trauma tajam dg mekanisme perdarahan dan edema parenkim konsolidasi
  • Patofisiologi : kontusio/cedera jaringan edema dan reaksi inflamasi → lung compliance ventilation-perfusion mismatch hipoksia & work of breathing
 
Diagnosis : ro toraks dan pemeriksaan lab (PaO2 ↓)
Manifestasi klinis dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma
 
Penatalaksanaan
Tujuan:
  • Mempertahankan oksigenasi
  • Mencegah/mengurangi edema
Tindakan : bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik), O2, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP > 5)
 
 
LASERASI PARU
Definisi : Robekan pada parenkim paru akibat trauma tajam atau trauma tumpul keras yang disertai fraktur iga.
Manifestasi klinik umumnya adalah : hemato + pneumotoraks
 
Penatalaksanaan umum : WSD
Indikasi operasi :
  • Hematotoraks masif (lihat hematotoraks)
  • Adanya contiuous buble pada WSD yang menunjukkan adanya robekan paru
  • Distress pernapasan berat yang dicurigai karena robekan luas
RUPTUR DIAFRAGMA
 
  • Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada daerah toraks inferior atau abdomen atas.
  • Trauma tumpul di daerah toraks inferior akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal mendadak yang diteruskan ke diafragma. Ruptur terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut.
  • Dapat pula terjadi ruptur diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus juga akan melukai organ-organ lain (intratoraks ata intraabdominal).
  • Ruptur umumnya terjadi di "puncak" kubah diafragma (sentral)
  • Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri lebih sering daripada diafragma kanan
  • Akan terjadi herniasi organ viseral abdomen ke toraks
  • Dapat terjadi ruptur ke intra perikardial
 
Diagnostik
  • Riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen
  • Tanda dan gejala klinis (sesak/respiratory distress), mual-muntah, tanda abdomen akut)
  • Ro toraks dengan NGT terpasang (pendorongan mediastinum kontralateral, terlihat adanya organ viseral di toraks)
  • CT scan toraks
 
Penatalaksanaan
Torakotomi eksplorasi (dapat diikuti dengan laparotomi)
 
 
TRAUMA ESOFAGUS
 
Penyebab trauma/ruptur esofagus umumnya disebabkan oleh trauma tajam/tembus.
Pemeriksaan Ro toraks: Terlihat gambaran pneumomediastinum atau efusi pleura
Diagnostik: Esofagografi
Tindakan: Torakotomi eksplorasi
 
 
TRAUMA JANTUNG
 
Kecurigaan trauma jantung :
  • Trauma tumpul di daerah anterior
  • Fraktur pada sternum
  • Trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, grs mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri)
 
Diagnostik
  • Trauma tumpul : EKG, pemeriksaan enzim jantung (CK-CKMB / Troponin T)
  • Foto toraks : pembesaran mediastinum, gambaran double contour pada mediastinum menunjukkan kecurigaan efusi perikardium
  • Echocardiography untuk memastikan adanya effusi atau tamponade
 
Penatalaksanaan
  1. Adanya luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi emergency
  2. Adanya tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi.
  3. Adanya kecurigaan trauma jantung mengharuskan perawatan dengan observasi ketat untuk mengetahui adanya tamponade
 
Komplikasi
Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel beberapa bulan/tahun pasca trauma.



Pembedahan Pada Kelainan Pleura

Abstracts
Purpose: Presenting the surgical case of pleural diseases (Diagnosis, etiology and surgical procedure)

Methods: Retrospective review of surgical management of pleural diseases from January 1995-December 2004 in Persahabatan Hospital, Jakarta

Results: there were 105 patients, seventy nine patients who underwent surgery were caused by infection (49 cases were tuberculous empyema, 26 cases were non tuberculous empyema, 3 cases were bronchopleural fistula and one case was pleurocutaneous fistula).  Various type of surgery was performed in pleural infection patients are many: opened drainge, decortication, airplombage, thoracoplasty, pleurectomy, pleuropneumonectomy and video assisted thoracoscopic surgery (VATS).  Ten patients with hemothorax were caused by trauma, exploratory thoracotomy was done in most and two patients was performed by VATS.
Five patients of pleural diseases underwent surgery were spontaneous pneumothorax had a VATS and four patients were rupture of pulmonary bullae had a bullectomy by posterolateral thoracotomy.
Two patients with chylothorax had a thoracic duct ligation. There were 3 pleural malignancy patients (3 cases were mesothelioma and 2 cases as a malignant pleural effusion), pleurectomy and pneumopleurectomy was performed for mesothelioma, closed drainage for malignant pleural effusion.
There were 13 successfully VATS for pleural diseases, no post operative complications and early mobilization.
Conclusion: most of surgical case of pleural diseases are infectious caused.  The success of VATS for surgical treatment of pleural diseases was initially revolution for radical surgery for easy procedure.

PENDAHULUAN
Pembedahan pada penyakit pleura sudah dimulai sejak berkembangnya spesialisasi bedah Toraks dan kasus yang sering ditemui adalah infeksi pada rongga pleura.
Dengan berkembangnya pengobatan khemoterapi diharapkan tindakan bedah akan berkurrang, namun sebaliknya karena makin banyaknya ditemui penyakit autoimunitas dan penggunaan antibiotika yang tidak tepat dan tidak sempurna sehingga angka kejadian penyakit infeksi pada pleura meningkat kembali, den banyak usaha-usaha bedah ditingkatkan untuk mengatasi hal ini sehingga timbul macam-macam jenis operasi yang dikembangkan dari tindakan yang radikal sampai ke tindakan minimal invasif seperti Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) untuk pengobatan penyakit pleura.
Akan dilaporkan  tindakan pembedahan terhadap penyakit pleura yang dilakukan di RS Persahabatan Jakarta dalam kurun waktu 10 tahun (Januari 1995 - Desember 2004) dan tinjauan kepustakaan.

PNEUMOTORAKS
Pneumotoraks adalah adanya udara didalam rongga pleura, akibat robeknya pleura visceral, dapat terjadi spontan atau karena trauma.
Rhea (1982), membuat klasifikasi pneumotoraks atas dasar prosentase pneumotoraks, kecil bila pneumotoraks < 20%, sedang bila pneumotoraks 20% - 40% dan besar bila pneumotoraks > 40%.

Pada pneumotoraks kecil ( < 20%), gejala minimal dan tidak ada "Respiratory distress", serangan yang pertama kali, sikap kita adalah observasi dan penderita istirahat 2-3 hari. Bila pneumotoraks sedang, ada "Respiratory distress" atau pada observasi nampak progresif (foto toraks), atau adanya "Tension pneumothorax", dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan WSD untuk pengembangan paru dan mengatasi gagal nafas.

Tindakan torakotomi dilakukan bila :
  1. Kebocoran paru yang massif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae / fistel Bronkhopleura).
  2. Pneumotoraks berulang.
  3. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).
  4. Pneumotoraks bilateral.
  5. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah terpencil)
 
Teknik bedah
Pendekatan melalui torakotomi anterior, torakotomi posterolateral dan sternotomi mediana, selanjutnya dilakukan reseksi bleb, bulektonomi, subtotal pleurektomi. Parietalis dan Aberasi pleura melalui video Assisted Thoracoscopic surgery (VATS), dilakukan reseksi bleb, aberasi pleura dan pleurektonomi.
 
HEMOTORAKS
Hemotoraks adalah adanya darah didalam rongga plaura, terjadi terutama karena trauma.
Tindakan bedah yang dilakukan adalah pemasangan WSD untuk evakuasi darah atau hematoma dari dalam rongga pleura.
Indikasi Torakotomi apabila:
1.                  Perdarahan massif (jumlah produksi darah yang diukur melalui WSD >750 cc)
2.                  Pada observasi bila produksi darah setelah pemasangan WSD lebi dari 3-5 cc/kg BB/jam atau 3-5 cc/kg BB/jam selam 3 jam berturut-turut.
Bila kita memiliki fasilitas, sarana dan kemampuan tindakan VATS sangat baik, dengan VATS dapat dilakukan evakuasi Hematoma/darah dan penjahitan fistula/robekan paru serta aberasi pleura panetalis. Keuntungan tindakan ini adalah penderita cepat mobilisasi.
 

EMPIEMA
Empiema adalah efusi pleura yang terinfeksi oleh mikroba. Empiema paling sering terjadi karena pneumonia (infeksi paru) yang penanganannya tidak sempurna, dapat terjadi karena trauma, "rupture esophaqus" juga karena ekstensi infeksi sub diaphragma seperti abses hepar.

Prinsip penanggulangan empiema adalah :
  1. Drainase / mengeluarkan nanah sebanyak-banyaknya.
  2. Obliterasi rongga empiema.
  3. Pemberian antibiotika yang adekuat baik jenis, dosis dan waktu.
Penanggulangan empiema tergantung dari fase empiema ,

fase I (fase eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai tujuan diagnostik terapi dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran cairan tersebut dapat dicapai pengembangan paru yang sempurna.

fase II (fase fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan drainase terbuka (reseksi iga/ "open window") . Dengan cara ini nanah yang ada dapat dikeluarkan dan perawatan luka dapat dipertahankan.  Drainase terbuka juga bertujuan untuk menunggu keadaan pasien lebih baik dan proses infeksi lebih tenang sehingga intervensi bedah yang lebih besar dapat dilakukan.
Pada fase II ini VATS surgery sangat bermanfaat, dengan cara ini dapat dilakukan empiemektomi dan/atau dekortikasi.

fase III (fase organisasi)
Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas mengembang atau dilakukan obliterasi rongga empiema dengan cara dinding dada dikolapskan (Torakoplasti) dengan mengangkat iga-iga sesuai dengan besarnya rongga empiema, dapat juga rongga empiema disumpel dengan periosteum tulang iga bagian dalam dan otot interkostans (air plombage), dan disumpel dengan otot atau omentum (muscle plombage atau omental plombage)
Pada empiema tuberkulosa, torakotomi dilakukan bila keadaan sudah tidak didapat kuman baik pada sputum maupun cairan pleura dimana bakeri tahan asam (BTA) pada sputum dan cairan pleura sudah negatif. Untuk mencapai sputum dan cairan pleura negatif diberikan obat anti TB yang masih sensitif secara teratur dan untuk mencapai cairan pleura BTA negatif dapat dilakukan reseksi iga (window and qauzing) bila keadaan paru sangat rusak (menjadi sarang kuman TB) dilakukan reseksi paru (pneumonektomi atau lobektomi).
 
CHYLOTHORAX
Chylothorax adalah akumulasi cairan limphe yang berlebihan di dalam rongga pleura karena kebocoran dari duktus torasikus atau cabang-cabang utamanya. Obstruksi atau laserasi duktus torasikus yang paling sering disebabkan oleh keganasan, trauma, tuberkulosa dan trombosis vena.
Cairan "chylus" khas putih seperti susu tidak berbau dan bersifat alkalis,pada kondisi puasa produksi minimal dan menjadi produktif  setelah makan makanan berlemak. Komposisi terutama adalah fat 14-210 mmol/L (60%-70% lemak yang diserap usus masuk ke dalam duktus torasikus) protein dan elektrolit.

Penatalaksanaan:
  1. Konservatif, dengan cara: pemberian diet dan nutrisi yang adekuat (rendah lemak), koreksi cairan dan elektrolit dan drainase tertutup (WSD).
  2. Intervensi bedah

Tindakan bedah dilakukan bila lebih dari 14 hari tindakan konservasif tidak berhasil, dari kepustakaan 25% kebocoran akan menutup secara sepontan dalam interval waktu 14 hari dan 75% butuh intervensi bedah.

Teknik bedah
  • ligasi langsung pada duktus toraksikus.
  • "supra diaphragmatic mass ligaton".
  • Pleuroperitoneal shunting.
  • Pleurodesis dan pleurectomi.
  • Anastomosis duktus ke V azugos.
  • Dekortikasi.
  • Fibrine glue.
  • VATS.
 
KEGANASAN PLEURA
Keganasan pada pleura meliputi "mesothelioma" dan "maliginant pleural effusion".
Tindakan pada keganasan pleura adalah.
1      WSD + pleurodesis.
2      Pleurektomi.
3      Mechanical pleurodesis
4      Pleuroperitoneal Shunt.
PEMBEDAHAN PADA KELAINAN PLEURA DI RS. PERSAHABATAN JAKARTA
 
Dilakukan studi retrospektif terhadap 105 pasien dengan penyakit pleura yang dioperasi dalam kurun waktu Januari 1995 - Desember 2004.

Tabel 1. Distribusi dari 105 pasien dengan peyakit pleura yang dilakukan pembedahan.
Diagnosa                                                                                             Jumlah
Empiema
- Tuberkolusa                                                                                             49
- Non tuberkolusa                                                                                      26
Fistel Bronkhopleura                                                                                   3
Fistel Pleurokutaneus                                                                                 1
Pneumotoraks
- Pneumotoraks Spontan                                                                           5
- Bulla yang pecah                                                                                     4
Hemotoraks                                                                                             10
(Trauma)
Chylothorax                                                                                               2
Keganasan Pleura
Mesotelioma                                                                                              3
Efusi Pleura ganas                                                                                    2
 
 
 Tabel 2. Prosedur bedah yang dilakukan pada 79 kasus infeksi pleura.
Jumlah Kasus
Torakoplasti                                                                                              3
Dekortikasi                                                                                             33
Decortation Pulmonany Detachement (DPD)                                          22
Pleuropneumonektomi + Torakoplasti                                                      1
Pleurektomi + fistulektomi                                                                        1
Operasi 2 tahap
- Drainase terbuka & torakoplasti                                                           4
- Drainase terbuka & dekortikasi                                                            4
- Drainase terbuka + DPD + air plombage                                              5
Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)                                         6 
 
 
Tabel 3.Prosedur bedah yang dilakukan pada 26 kasus penyakit
pleura non infeksi.
                                                    WSD         Torakotomi           VATS
Pneumotoraks
      Pneumotoraks Spontan                                                                            5
Bulla yang pecah                                                                      4
Hemotoraks                                                                             8                     2
Chylothorax                                                                             2
Keganasan pleura
       Mesotelioma                                                                      3
       Efusi pleura ganas                                          2
 
Dari data yang dikumpulkan tercatat lama perawatan pada penderita yang dilakukan operasi konvesional antara 15-36 hari sedangkan yang dilakukan tindakan VATS penderita dirawat antara 5-7 hari.
Dari 105 penderita yang dioperasi didapat kematian penderita pasca bedah 2 orang (1,9%) yaitu kasus destroyed lung (tuberkulosa) "fungus ball" + MDR setelah dilakuakn operasi Reseksi, pasca bedah terjadi komplikasi fistel bronkhopleura.
 
RINGKASAN
Telah dibicarakan penatalaksanaan bedah pada kasus penyakit pleura serta laporan pembedahan pada 105 kasus penyakit pleura yang dilakukan di RS Persahabatan Jakarta kurun waktu Januari 1994-Desember 2004 kasus infeksi lebih banyak ditemukan dan beracam-macam jenis operasi telah dilakukan.
Perawatan pasca bedah pada tindakan Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS) ternyata lebih cepat dibandingkan dengan tindakan yang lain dan hasilnya baik karena tidak ditemui komplikasi pasca bedah dan mobilisasi lebih awal.
 
KEPUSTAKAAN
  1. Baue .A.E, Geha, A..S, Hammond G.L, Laks. H, Naunheius K.S, Glenn's Thorac  and Cardhovascular Surgery 6th ed, Prantile Hall International inc, London 1996.
  2. Chon L.W, Doty D.B, Mc Elvein R.B,. Decision Making in Cardiothoracic SurgeryBC Decker inc, Toronto 1987. 
  3. Ismid D.I. Busroh.      Pembedahan Pada Empiema Tuberkulosis, Empiema Toraks penanganan bedah terkini 2002 ; 41 -  46 
  4. Kukuh B. Rachmad. Dasar Pembedahan Pada Empiema Toraks, Empiema Toraks Penanganan bedah terkini 2002 ; 35 - 40.
  5. Pearson F.G, Cooper. J.D, Deslauriers J., Gingberg R.J., Hiebert C.A, Petterson G.A., Urschek HC, Thoracic Surgery, 2nd  ed, Churchill  Livingstone, Philadelphia 2002.
Sabiston DC., Spencer F.C,. Surgery of The Chest 5th ed, WB Saunders. Philadelphia .1991

VITAMIN YANG LARUT DALAM LEMAK

PENDAHULUAN

            Istilah vitamin pertama kali digunakan pada awal abad XX ketika EIJKMAN dan kawan-kawan menemukan zat yang bisa digunakan untuk mengobati penyakit beri-beri. Vladimir Funk yang pertama kali memberi nama tersebut menyangka bahwa zat tersebut mengandung ikatan organik amine.

            Dalam perkembangan selanjutnya vitamin disebutkan sebagai suatu senyawa organik yang pada umumnya tidak bisa disintesa oleh tubuh sehingga harus disediakan oleh tubuh walaupun sangat mutlak dibutuhkan oleh tubuh. Ada beberapa jenis vitamin yang bisa dibuat oleh tubuh kita sendiri yaitu dengan cara mengubahnya dari ikatan organik lain. Ikatan organik ini disebut sebagai prekursor vitamin atau provitamin. Beberapa jenis vitamin yang mempunyai prekursor adalah vitamin A, vitamin D, dan vitamin C (khusus pada tikus).

            Secara umum fungsi vitamin berhubungan erat dengan fungsi enzim. Enzim merupakan katalisator organik yang menjalankan dan mengatur reaksi-reaksi biokimia di dalam  tubuh. Kelompok vitamin B pada umumnya mempunyai fungsi ini. Disamping itu ada jenis vitamin yang dirubah menjadi hormon di dalam tubuh kita.

            Masing-masing vitamin dibutuhkan badan dalam jumlah tertentu. Terlalu banyak maupun terlalu sedikit vitamin yang tersedi a di dalam tubuh akan memberikan efek gangguan pada kesehatan. Kelebihan cadangan vitamin yang disebut juga Hypervitaminosis pada umumnya terjadi pada kelompok vitamin yang larut dalam lemak sedangkan hipovitaminosis (keadaan kurang) atau avitaminosis (keadaan sangat kurang dan sudah timbul gejala klinis) bisa terjadi baik pada kelompok yang larut dalam lemak maupun dalam air. 

            Seperti disebutkan diatas, melihat kelarutannya vitamin dibedakan menjadi dua bagian yaitu, vitamin yang larut dalam lemak meliputi Vitamin A,D,E,K dan vitamin yang larut dalam air yaitu vitamin B dan kelompoknya dan vitamin C.

 

VITAMIN A

            Di Indonesia vitamin A merupakan masalah masyarakat, karena dulu banyak anak Indonesia yang menderita kekurangan vitamin ini.

            Saat ini walaupun prevalensinya sudah sangat menurun tetapi defisiensi vitamin A di Indonesia masih dianggap sebagai masalah gizi masyarakat.

Karena begitu populernya masalah ini di Indonesia, kita bahkan mempunyai istilah tersendiri bagi penderita defisiensi, yang kemudian dikenal sebagai penyakit buta ayam atau rabun senja.

 

Nomenklatur

            Beberapa istilah yang ada dalam pembicaraan vitamin A adalah retinol, retinoid, caroten dan carotenoid. Bentuk vitamin A sendiri sebenarnya adalah retinol. Bentuk esternya dikenal sebagai ester retinil, bentuk aldehidnya disebut dengan retinaldehida atau retinal, sedangkan bentuk asamnya disebut dengan asam retinoat.

            Bentuk provitamin A yang akan menjadi vitamin A adalah karotenoid. Ada 400 jenis karotenoid sedangkan yang layak ditentukan sifat-sifatnya hanya 30 jenis. Bentuk karotenoid yang paling aktif adalah b caroten.

            Vitamin A dan karotenoid tersedia dalam bentuk alami maupun buatan. Dan banyak pula bentuk retinoid yang digunakan sebagai obat anti kanker.

 

Sumber vitamin A

            Vitamin A banyak dijumpai pada makanan yang bersumber dari susu seperti butter, dan keju, kuning telur, ikan yang berlemak dan pada hati. Bahan makanan yang paling banyak mengandung vitamin A natural adalah minyak dari hati ikan. Karoten pada tumbuh-tumbuhan terutama berada pada chloroplas oleh karena dialah yang melakukan fotosintesis oleh klorofil. Oleh karena itu bahan makanan berasal dari tanaman, yang banyak mengandung vitamin A adalah bahan makanan yang berwarna.

            vitamin A pada umumnya bersifat stabil. Kehilangan sedikit akan terjadi bila dia dipanaskan dalam minyak goreng atau mentega susu (butter). Banyak vitamin A akan rusak bila bahan makanan dikeringkan dibawah sinar matahari secara terbuka.

 

Kebutuhan

            Beberapa perbedaan ukuran yang perlu dipahami adalah perbedaan besaran untuk retinol, karotenoid dan karoten. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut

            1,0 mg. Retinol Equivalent (R.E.) =    1,0 mg retinol

                                                                         6,0 mg  b karoten

                                                                       12,0 mg provitamin karotenoid yang lainnya

                                                                         3,3 (IU) international unit Retinol

                                                                         9,9 (IU) b karoten

            Kebutuhan seseorang untuk vitamin A tidak berbeda dengan nutrient lainnya yaitu sangat tergantung dari umur, jenis kelamin dan beberapa faktor lainnya. Begitu juga penulisan kebutuhan vitamin A yang dianjurkan disetiap negara berbeda-beda juga. 

 

Fungsi Vitamin A

            Vitamin A mempunyai beberapa macam fungsi diantaranya adalah fungsi untuk penglihatan, fungsi dalam metabolisme umm dan fungsi reproduksi.

            Sebagai fungsi penglihatan karena retina mata manusia mempunyai empat fotopigmen yang mengandung vitamin A. Keempat fotopigmen tersebut adalah rodopsin dari sel-sel batang (rod) dan iodopsin dari sel kerucut yang jumlahnya ada 3.

              Fungsi dalam metabolisme umum tampak dari kaitannya dengan metabolisme protein. Pada epithel permukaan (kulit), defisiensi menyebabkan integritas epitel terganggu sehingga terjadi xerosis pada kulit. Pada anak Balita, defisiensi vitamin A menimbulkan hambatan pertumbuhan yang diduga disebabkan oleh gangguan pada sintesa protein yang dikatalisir oleh vitamin A. Pada gigi, defisiensi vitamin A mengganggu terbentuknya ameloblast yang sanagt berpengaruh terhadap pembentukan odontoblast. Odontoblast yang kurang menyebabkan dentin yang terbentuk akan mudah mengalami karies. Sedangkan secara invitro vitamin A mempengaruhi permeabilitas membran yang mengatur konsentrasi zat gisi di dalam sel.

             Pengaruhnya terhadap fungsi reproduksi, diketahui bahwa defiensi vitamin A menyebabkan kemandulan pada hewan percobaan. Baik pada yang jantan maupun yang betina. Hal ini diduga karena pegaruh vitamin A pada hormon-hormon steroid.

 

Penggunaan Klinis Vitamin A

            Dalam dosis yang tinggi vitamin A sangat effektif untuk menyembuhkan kelainan kulit. Pengaruh vitamin A terhadap penyembuhan kelainan kulit khususnya bentuk kulit yang bersisik atau mengalami pengerakan (keratinisasi) belum diketahui dengan pasti.

            Saat ini sedang dicobakan efek vitamin A terhadap pencegahan kanker, karena beberapa retinoid ternyata sangat aktif terhadap sel-sel tumor yang dapat ditransplantasi.

 

Pengukuran Status Vitamin A

            Status vitamin A diukur dari kemampuan orgam tubuh untuk menyimpan vitamin A dan beberapa keadaan yang mempengaruhinya. Organ utama yang bisa menyimpan vitamin A dalam jumlah yang besar adalah hati. Sedangkan status vitamin A diukur dari cadangan vitamin A dalam hati, keadaan dalam serum retinol, cytology conjungtiva, tampilan klinis pada mata (xerophthalmia).


a. Cadangan dalam hati

            Pada percobaan binatang dan pada studi pada manusia diketahui bahwa cadangan minimal vitamin A dalam hati baik pria maupun wanita adalah 0,07 mmol./gr. atau 20 mg/gr. hati. Dua jenis test yang digunakan untuk pengujian ini adalah test RDR (Relative Dose Respons) dan test MRDR (Modified Relativ Dose Respons). Test tersebut mengukur cadangan vitamin A dalam hati secara tidak langsung melalui plasma assay. Yang diperhitungkan disini adalah perbedaan kadar serum retinol sebelum dan 5 jam sesudah pemberian retinyl palmitate yang kemudian dibagi dengan keadaan final dan dinyatakan dalam persen. Bila hasilnya menunjukkan angka kisaran 50-20 % menunjukkan keadaan simpanan yang marginal dan bila >50% menunjukkan defisensi.

 

b. Serum retinol

            Plasma vitamin A (serum retinol) sebetulnya tidak bisa menunjukkan keadaan defisiensi maupun keracunan. Hal ini disebabkan karena kemampuan hati untuk menyimpan vitamin A besar sekali. Oleh karena itu bila sudah terjadi kelainan baik berbentuk lebih atau kurang, keadaannya menunjukkan fase final yang harus disertai dengan kelainan klinis. Tetapi oleh karena standard sudah ada maka pemeriksaan ini dimasukkan oleh WHO sebagai salah satu standard di masyarakat.

 

            Standard yang dimaksud adalah sebagai berikut :

STATUS

Plasma vitamin A

mmol/l

mg/dl

Defisien

< 0,35

<10

Marginal

0,35-0,70

10-20

Memuaskan

0,70-1,75

20-50

Kelebihan

1,75-3,50

50-100

Keracunan

> 3,50

> 100

c. Sitologi konjungtiva

            Tes ini bersifat noninvasip dan bisa dipakai untuk menguji defisiensi tingkat subklinik. Yang dicari adalah perubahan histologis pada sel bulbar conjugtiva, seperti hilangnya sel goblet, perubahan xerotic dan munculnya genangan mucin. Tetapi belakangan ternyata diketahui bahwa keadaan infeksi mata yang kronis, trauma lokal oleh karena debu, asap dan sinar ultraviolet juga bisa mempengaruhi keadaan ini. Sehingga test kemudian dianggap mempunyai tingkat spesifisitas yang rendah.

 

d. Manifestasi pada mata

            Keadaan ini jelas dimunculkan sebagai Xerophthalmia dengan segala tingkatannya. Dengan dimulainya keadaan rabun senja maka serum retinol pasti dijumpai menurun. Sebelum kejadian ini, pada penderita yang cooperatif bisa dilakukan uji dengan adaptometri gelap.

            Beberapa tahapan dari xerophthalmia adalah

            - Rabun Senja                          Night blindnes(XN)

            - Serosis konjungtiva                Conjunctival xerosis (X1A)

            - Serosis kornea                       Corneal xerosis (X1B

            - Ulkus kornea awal                 Corneal ulceration < 1/3 corneal surface (X3A)

            - Ulkus kornea lanjut                Corneal ulceration ³ 1/3 corneal surface (X3B)

            - Skar kornea                           Corneal scar (XS)

            - Xerophthalmic fundus (XF)

             Istilah Keratomalacea dinyatakan oleh karena adanya ulkus pada kornea.

 

Defisiensi Vitamin A

            Manifestasi klinik yang menunjukkan defisiensi vitamin A sampai saat ini adalah Xerophthalmia. Xerophthalmia sendiri masih dianggap sebagai sumber utama kebutaan yang terjadi pada anak-anak. Kejadian tertinggi didunia adalah di Asia Tenggara, Afrika Amirika latin dan Amirika timur. Di Indonesia sendiri prevalensinya adalah

            Disamping karena intake yang sangat rendah, beberapa keadaan yang dapat diakatakan sebagai penyebab endogen dari keadaan defisensi vitamin A adalah Penyakit usus (coeliac disease), sprue, obstructive jaundice, ascariasis, giardiasis, partial atau total gastrectomi, yang menyebabkan absorpsi lemak termasuk vitamin A berkurang.

             Pancreatitis kronis, menyebabkan enzym lipase kurang produksinya. Selain itu juga oleh karena merupakan akibat sekunder dari Zn defisiensi.

              Cystic fibrosis, menyebabkan banyaknya zat makanan yang keluar melalui kotoran termasuk vitamin A Enzyme defect, menyebabkan kegagalan perubahan b karoten di usus halus. Penyakit haati kronis terutama Cirrhosis, menyebabkan berkurangnya penyimpanan dan merupakan faktor predisposisi timbulnya Zn defisensi juga.

 

Menurunnya plasma RBP.

            Secara epidemiologis xerophthalmia terutama terjadi pada anak-anak berusia sampai dengan 4 tahun yang mengalami defisiensi makanan untuk waktu yang cukup lama. Hal ini disebabkan karena usia ini merupakan usia rawan dan kekurangan vitamin A sudah terakumulasi. Laki-laki lebih banyak yang terkena dan prevalensinya ternyata juga dipengaruhi oleh musim. Penyakit-penyakit yang biasanya menjadi faktor predisposisi adalah campak, gastroenteritis dan penyakit saluran pernapasan.

 

Pengobatan

            Pada semua tingkat xerophthalmia, anak berusia 1-6 tahun seharusnya menerima 200.000 IU (66.000 mg) retinil palmitat. Bila anak menderita muntaber maka pemberian dianjurkan melalui suntikan.Pemberian diulang setiap hari sampai ± selama 4 minggu. Anak berusia < 1 tahun diberikan  setengah dosis. Pada ibu hamil/ wanita sedang masa reproduksi pembrian harus dilakukan dengan hati-hati karena vitamin A bersifat terratogenik.

 

Morbiditas dan mortalitas.

            Tingkat kematian pada anak yang menderita defisiensi ternyata cukup tinggi. Pada studi di Indonesia dan Nepal menunjukkan bahwa risiko kematian oleh karena penyakit pernafasan dan gastrointestinal meningkat pada penderita xerophthalmia ringan. Risiko ini berkurang dengan suplementasi vitamin A.

 

Pencegahan

            Untuk program pencegahan, pemberian kapsul vitamin A dengan dosis 200.000 IU diberikan 4-6 bulan sekali disarankan W.H.O untuk kelompok sasaran anak prasekolah, dan ibu menyusui.

            Disamping itu fortifikasi vitamin A pada gula, MSG dinyatakan cukup berhasil dalam mengurangi kejadian defisiensi di masyarakat.

 

Toksisitas

            Keracunan vitamin A bisa terjadi secara akut, kronis. Kejadian akut yang disebabkan oleh intake vitamin A yang terlalu tinggi menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial pada anak. Manifestasi yang muncul antara lain adalah muntah, sakit kepala dan papiledema. Bila terlalu tinggi maka anak akan mengalami kelesuan, muntah yang keras dan gangguan pada kulit. Bila vitamin A distop maka keadaan akan membaik tanpa efek sisa.

            Keracunan kronis terjadi karena intake yang 10 kali lebih tinggi dari anjuran dilakukan dalam waktu yang lama.Gejala yang muncul seperti rambut rontok, sakit kepala, kulit kering dan gatal, hepatospleenomegali, nyeri pada tulang dan sendi pada umumnya tidak spesifik kecuali dilakukan anamnesa yang teliti terhadap riwayat minum obatnya. Seperti halnya dengan keracunan akut maka yang khronispun akan sembuh sempurna tanpa sisa bila vitamin A segera dihentikan.

            Hypercarotenosis terjadi pada orang yang mengkonsumsi dalam jumlah besar karotenoid yang terdapat pada sayuran berdaun hijau atau kuning, wortel, tomat atau jeruk lemon. Pada saat ini total karotenoid plasma juga meningkat, tetapi keadaan ini bisa juga terjadi pada pendererita D.M., hypotiroid, anoreksia nervosa dan hiperlipidemic proses. Pada keadaan kulit penderita akan tampak kuning khususnya di lokasi nasolabial, kepala depan, ketiak, juga pada telapak tangan atau kaki. Hal ini karena sekresi karotenoid melalui kelenjar sebacea. Dan keadaan ini tidak berbahaya.

 

VITAMIN D (CALCIFEROL)

            Vitamin D adalah bentuk generik dari dua molekul yaitu Ergocalciferol (vitamin D2) yang diperoleh dari penyinaran/radiasi terhadap sterol tumbuhan (Ergosterol) dan Cholecalciferol (vitamin D3) di alam yang diperoleh dari penyinaran/radiasi terhadap 7-dehydrocholesterol yang terdapat dalam tubuh manusia/hewan. 

 

Metabolisme vitamin D

            Didalam tubuh manusia sudah ada prekursor vitamin D (tidak aktif) yang terletak di lapisan lemak bawah kulit dan berfungsi sebagai prohormon. Supaya menjadi aktif jenis vit. D3  memerlukan proses aktivasi oleh sinar matahari dan dua kali proses hidroksilasi. Aktivasi oleh sinar matahari terjadi di stratum spinosum dan stratum basale dan memerlukan cahaya dengan panjang gelombang 280-320 nm. Disini 7 dehydrocholesterol dirubah menjadi cholecalciferol. Kemudian vitamin D3 setengah jadi ini dibawa oleh darah menuju ke hati dimana kemudian dia dihydroksilasi pertama kali oleh enzym 25-hydroksilase menjadi 25-hydroksi cholecalciferol. Konversi berikutnya adalah di ginjal dimana dia dihydroksilasi kembali menjadi 1.25 dihydroksi cholecalciferol.  Konversi ini membutuhkan hormon Parathyroid, dan bentuk aktif 1,25 dihydroksi cholecalciferol inilah yang berperan aktif dalam sintesa Ca binding Protein (CaBP), sehingga vitamin ini dimasukkan kedalam kelompok hormon.. 

 

Fungsi

Kegiatan vitamin D tampak pada hal-hal sebagai berikut:

            Meningkatkan absorpsi Calsium dan Phospat di dalam usus. Komposisi terbaik kedua jenis mineral ini adalah 1:1. Penyerapan Ca di usus dilaksanakan melalui mekanisme Ca binding Protein (CaBP) yang sintesanya diatur oleh 1.25 dihydroksi cholecalciferol. Penyerapan Calsium merupakan hasil kerja sama antara CaBP dan cAMP, tetapi mekanismenya belum terlalu jelas.

            Mendorong pembentukan garam Ca di organ yang memerlukan. Garam Ca ini berguna untuk memperkuat struktur jaringan seperti tulang dan gigi. 1,25 dihydroksi calciferol dan hormon parathyroid mengatur pembentukan garam Ca dalam jaringan keras dan pelepasan Ca melalui CaBP. Berpengaruh dalam peingkatan resorbsi Phospat dalam tubuli ginjal sehingga meningkatkan keseimbangan Ca dan Phospat dalam jaringan untuk sintesa garam Ca phospat.

 

Kebutuhan

            Kebutuhan secara pasti tidak diketahui karena vitamin ini bisa disentesa dari jenis cholesterol tertentu yang terdapat pada jaringan dibawah kulit. Tetapi bahwa konsumsi 400 SI sehari sudah dianggap mencukupi kebutuhan untuk semua umur.

 

Defisiensi

            Defisiensi menimbulkan penyakit rakhitis/riketsia pada anak-anak atau osteomalacea pada orang dewasa. Anak-anak akan mengalam gangguan pertumbuhan karena proses penulangan yang terganggu. Disamping itu anak yang menderita riketsia akan mudah mengalami infeksi karena melemahnya pagositosis neutrophyl, anemia dan berkurangnya proses selulasi sumsum tulang.

            Konsumsi berlebih vitamin D memberikan gejala Hypervitaminosis. Kondisi ini terjadi pada anak-anak yang mendapatkan tetes konsentrat minyak ikan yang terlalu banyak dan jangka waktunya lama. Hypervitaminosis memberikan gejala pengapuran paa organ yang tidak seharusnya misalnya dalam ginjal. 

 

VITAMIN E

            Vitamin E atau alpha tocopherol merupakan senyawa organik yang larut dalam minyak dan pelarut lemak lainnya dan mempunyai viskositas yang tinggi. Vitamin ini tahan terhadap suhu, alkali dan asam. Oleh karena ikatan rangkapnya maka kelompok vitamin ini mudah sekali teroksidasi sehingga disebut juga sebagai kelompok reduktor yang kuat.

 

Metabolisme

            Vitamin ini diserap oleh usus melalui jalan yang sama dengan penyerapan lemak. Sesampainya di kel. lymphe, bersama lemak yang lain dibawa ke ductus Thorasicus. Jumlah yang diserap adalah antara 70-95 % tergantung dari kadar vit E yang diigesti dan adanya kompetitor yang dalam hal ini adalah Vitamin A dan PUFA.

 

Fungsi

            Fungsi vitamin E berhubungan erat dengan sifatnya yaitu sebagai anti oksidan alamiah dan hubungannya dengan metabolisme Selenium. Kedua fungsi ini melindungi sel dari daya destruktip peroksida di dalam jaringan.

            Peroksida hasil metabolisme ini sanggup untuk menghancurkan Phospolipid pada struktur membran sel dan subseluler. Vitamin E melalui kemampuannya meniadakan ikatan peroksida, mampu mencegah proses penghancuran ini pada tingkat yang pertama sedangkan pada tingkat yang kedua dilakukan oleh enzim peroksidase glutation.

 

Defisiensi

            Kekurangan vitamin E menunjukkan tanda-tanda kerusakan membran sel dan keluarnya isi sel ke cairan eksternal. Beberapa penyakit yang dilatar belakangi oleh defisiensi ini adalah myopati, neuropati dan nekrosis hati.

 

Kebutuhan

            Berapa kebutuhan vitamin E secara pasti sulit untuk ditentukan. Hal ini disebabkan karena tanda klinis difisiensi tidak selalu muncul. Disamping itu kebutuhan ini juga dipengaruhi oleh komposisi diet dan aktivitas biologis dari zat sejenisnya. Sehingga kalau kita mengkonsumsi banyak PUFA maka kita harus banyak pula mengkonsumsi vitamin E.

 

VITAMIN K

            Merupakan senyawa organik berbentuk ikatan quinon. Penamaan vitamin ini berbeda antara yang diusulkan oleh International Union for Protein and Applied Chemistry (IUPAC) dan yang diusulkan oleh International Union for Nutrition Science (IUNS). Bentuk induk vitamin K adalah Menadion (IUPAC) dan Menaquinon (IUNS). Selanjutnya derivat vitamin K disebut sesuai dengan jumlah isoprenoid yang menyusun rantai sampingnya.

 

Metabolisme

            Suplai vitamin K berasal dari bahan makanan dan dari sintesa oleh micro flora usus yang menghasilkan Menaquinone. Pada pemberian antibiotik dengan jumlah yang besar dan jangka waktu lama dan membunuh microflora dalam jumlah besar, sehingga penderita mungkin akan menderita defisiensi vit. K juga. Penyerapan dan transportnya di dalam tubuh mengikuti penyerapan dan transpot lemak sehingga bila penyerapan lemak terganggu maka penderita akan mungkin menderita gangguan vitamin K juga.

            Terdapat dalam konsentrasi tinggi di ginjal, paru-paru, kel. suprarenal, sumsum tulang dan lymphonodulus. Di dalam hati vitamin K dikonyugasikan dengan asam glukuronat dan asam sulfat untuk kemudian diekskresikan melalui urin.

 

Fungsi

            Vitamin K berfungsi dalam sintesa protrombin, yang diperlukan dalam proses pembekuan darah. Dengan kemajuan teori tentang pembekuan darah diketahui bahwa vitamin K tidak hanya berfungsi untuk mengsintesa protrombin tetapi juga untuk mengsintesa Faktor VII, Faktor IX dan Faktor X.

            Disamping itu vitamin K juga berfungsi pada transport elektron pada proses redoks di dalam jaringan/sel. Kekurangan vitamin K menimbulkan produksi ATP terganggu.

 

Sumber

            Seperti disebutkan diatas bahwa sumber vitamin K ada dua yaitu dari sumber bahan makanan dan bukan bahan makanan. Dari sumber makanan vitamin K terutama berasal dari tumbuhan berdaun hijau seperti Broccoli, bayam, petersely dan kubis. Makin hijau warna daun, makin tinggi konsentrasi vitamin K yang dikandungnya. Makin segar bahan makanannya, makin baik mutu vitamin Knya. Margarine dan minyak soya juga merupakan sumber yang baik. 

 

 

BAHAN BACAAN (BUKU ACUAN)

Ziegler, E.E.,  Filer, L.J., Present Knowledge in Nutrition, ILSI Press, Washington, 7th. ed. 1996.

Shils, M.E., Olson, J.A., Shike, M., Ross, A.C., Modern Nutrition in Health and Disease, Williams & Wilkins, Philadelphia, 9th. ed, 1999.

Garrow, J.S., James, W.P.T., Human Nutrition and Dietetics, Churchill Livingstone, London, 9th. ed., 1993.

Gibson, R.S., Principles of Nutritional Assessment,  Oxford University Express, Oxford,  1990.

Harris R.S., Karmas E., Nutritional Evaluation of Food Processing (Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan), ITB, Bandung, 1989.