Jumat, 04 Februari 2011

MANIFESTASI PENYAKIT SISTEMIK PADA RONGGA MULUT


Drg. Farah Dibayanti Noormaniah
Dr. Tetrawindu Agustiono Hidayatullah

Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Mataram


Banyak penyakit sistemik yang mempunyai manifestasi di rongga mulut. Rongga mulut dapat menjadi jendela tubuh kita karena banyak manifestasi pada rongga mulut yang menyertai penyakit sistemik. Kami telah mempelajari beberapa makalah/artikel/jurnal dan menggambarkan manifestasi mulut dari beberapa penyakit sistemik. Banyak lesi pada mukosa mulut, lidah, gingiva, gigi, periodontal, glandula salivarius, tulang wajah, kulit disekitar mulut yang terkait dengan penyakit sistemik umum.

Penyakit-penyakit darah
Anemia
Anemia defisiensi besi adalah penyakit darah yang paling umum. Manifestasi pada rongga mulut berupa atropik glossitis, mukosa pucat, dan angular cheilitis. Atropik glossitis, hilangnya papila lidah, menyebabkan lidah lunak dan kemerahan yang menyerupai migratori glossitis. Migratori glossitis, dikenal juga dengan sebutan geographic tongue, merupakan suatu kondisi lidah yang tidak diketahui penyebabnya yang mempengaruhi 1-2% populasi. Hal tersebut mengakibatkan lesi kemerahan, non- indurasi, atropik dan dibatasi dengan sedikit peninggian pada lidah, pinggir yang nyata dengan warna yang bermacam-macam dari abu-abu sampai putih. Pada atropik glossitis, area-nya tidak mempunyai batas keratotik putih dan cenderung meningkat ukurannya daripada perubahan posisinya. Pada kasus yang lebih parah, lidah menjadi lunak. Angular cheilitis, terjadi pada sudut bibir, yang disebabkan karena infeksi candida albicans (1) menyebabkan kemerahan dan pecah-pecah, serta rasa ketidaknyamanan. Manifestasi Plummer-Vinson syndrome juga termasuk disfagi akibat ulserasi pharyngoesophageal. Komplikasi-komplikasi rongga mulut muncul bersamaan dengan anemia sickle sel berupa osteomyelitis salmonella mandibular yang tampak sebagai area osteoporosis dan erosi yang diikuti oleh osteosklerosis. Anesthesia atau paresthesia pada nervus mandibular, nekrosis pulpa asymptomatik mungkin juga dapat terjadi (2). Kondisi-kondisi tersebut semakin parah apabila terjadi proliferasi sumsum tulang yang hebat. Deformitas dentofacial yang berhubungan dicirikan secara radiograpfik sebagai area dengan penurunan densitas dan pola trabekular kasar yang paling mudah dilihat diantara puncak akar gigi dan batas bawah mandibula. Osteosklerosis dapat terjadi bersamaan dengan trombosis dan infarksi.

Leukimia
Komplikasi oral leukimia sering berupa hipertrofi gingiva, petechie, ekimosis, ulkus mucosa dan hemoragik (3). Keluhan yang jarang berupa neuropati nervus mentalis, yang dikenal dengan ”numb chin syndrome(4). Ulserasi palatum dan nekrosis dapat menjadi pertanda adanya mucormycosis cavum nasalis dan sinus paranasalis (5). Enam belas persen dan 7% anak dengan leukimia akut dilaporkan mengalami gingivitis dan mucositis (6). Infeksi bakterial rongga mulut, yang dapat menjadi sumber septisemia, merupakan hal yang sering dan harus segera dideteksi dan diobati secara agresif. Pengobatan leukimia dengan agen kemoterapi dapat mengakibatkan reaktivasi Herpes Simplex Virus (HSV) yang dapat mengakibatkan terjadinya mukositis. Namun mukositis akibat kemoterapi dapat terjadi tanpa reaktivasi HSV, karena penipisan permukaan mukosa dan/atau supresi sumsum tulang yang mengakibatkan invasi organisme oportunistik pada mukosa 

Multiple Myeloma (MM)
Bila MM melibatkan rongga mulut, biasanya berupa manifestasi sekunder pada rahang, terutama mandibula, yang dapat mengakibatkan pembengkakan rahang, nyeri, bebal, gigi goyah, fraktur patologik (7). Punched out lesions pada tengkorak dan rahang merupakan gambaran radiografik yang khas. Insidensi keterlibatan rahang pada MM sekitar 15 % (8). Karena MM mengakibatkan immunosupresi, maka timbul beberapa infeksi seperti oral hairy leukoplakia dan candidiasis (9). Timbunan amyloid pada lidah menyebabkan macroglossia (10).





Penyakit rheumatologik
Sjogren’s syndrome
Pasien Sjogren’s syndrome (SS) sering mengalami xerostomia dan pembengkakan kelenjar parotis (11). SS sering dihubungkan dengan arthritis reumatoid. Pada suatu penelitian (12), 88% pasien dengan SS mengalami abnormalitas aliran ludah pada submandibular/sublingual, dan 55% mengalami abnormalitas aliran kelenjar parotis. Pembengkakan kelenjar parotis atau kelenjar submandibular ditemukan pada 35% pasien SS. Xerostomia dapat dihubungkan dengan fissure tongue, depapilasi dan kemerahan yang terdapat pada lidah, cheilitis, dan candidiasi.
 
Fungsi menelan dan bicara menjadi sulit karena adanya xerostomia persisten. Parotitis bakterial yang biasanya disertai demam dan discharge purulen dari kelenjar juga dapat terjadi. Hal tersebut meningkatkan karies gigi, terutama pada servik gigi (13). Penting untuk mengenal SS dengan cepat dan merujuk ke dokter gigi karena karies gigi dapat berkembang cepat. Diagnosa sering dipastikan dengan biopsi glandula salivarius labialis minor. Secara histologik, terdapat infiltrat limfosit periduktal.
Scleroderma (Sclerosis sistemik progresif)
Scleroderma merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan adanya sklerosis difus dari kulit, saluran gastrointestinal, otot jantung, paru-paru dan ginjal. Bibir pasien scleroderma tampak berkerut karena konstriksi mulut, menyebabkan kesulitan membuka mulut. Fungsi stomatognatik termasuk mulut dan rahang juga mengalami kesulitan. Fibrosis esophageal menyebakan hipotensi sphincter esophageal bawah dan gastroesophageal reflux, terjadi pada 75% pasien scleroderma (14). Disfagia dan rasa terbakar termasuk gejalanya. Mukosa mulut tampak pucat dan kaku. Telangietacsias multiple dapat terjadi. Lidah dapat kehilangan mobilitasnya dan menjadi halus seperti rugae palatal yang menjadi datar. Fungsi glandula saliva dapat menurun walaupun tidak separah Sjogren’s syndrome. Ligamen periodontal sering tampak menebal pada gambaran radiografik.
Lupus erythematosus (LE)
Lupus erythematosus terbagi menjadi discoid lupus erythematosus (DLE) dan sistemik lupus erythematosus (SLE). Lesi-lesi mulut terjadi pada 25-50% pasien DLE dibandingkan dengan 7-26% pasien SLE (15). Pada DLE, lesi ini biasanya mulai tampak sebagai area keputihan irregular yang kemudian meluas kearah perife.
Setelah lesi ini meluas, bagian tengah daerah ini menjadi merah dan menjadi ulcer sedangkan bagian tepi meninggi dan hyperkeratotik. Lesi mulut lichen planus mirip lesi mulut pada DLE baik secara klinis maupun histologi (16). Kriteria histologik yang jelas harus dilakukan untuk membedakan keduanya.
Ulserasi mulut dan nasopharyngeal diketahui sebagai manifestasi diagnostik mayor pada SLE oleh American Rheumatism Association Commite on Diagnostic and Therapeutic Criteria. Ulserasi-ulserasi ini biasanya tidak menimbulkan nyeri dan melibatkan palatum(17). Lesi-lesi purpurik seperti ecchymosis dan petechiae juga dapat terjadi. Lebih dari 30% pasien SLE, sering melibatkan glandula saliva, yang mendorong terjadinya Sjogren’s syndrome sekunder dan xerostomia yang parah.          
Arthritis Rheumatoid
Sendi Temporomandibular (TMJ) sering terlibat dalam arthritis rheumatoid. Hal ini sering dicirikan dengan erosi pada condylus yang mengakibatkan berkurangnya gerakan mandibula dan disertai nyeri ketika digerakkan. Mulut kering dan pembengkakan kelenjar ludah dapat juga ditemukan pada pasien arthritis rheumatoid (18). Pada pasien-pasien tersebut dapat juga timbul SS sekunder. Fungsi rahang yang menurun penting untuk dilakukan rekonstruksi TMJ segera setelah penyakit utamanya terkontrol. Sendi prosthetik dapat menjadi solusi sementara pada pasien tersebut.

Penyakit Onkologi
Kanker Metastase
Tumor metastase rongga mulut dapat menyerang pada jaringan lunak atau keras. Namun hal ini sangat jarang, hanya sekitar 1% neoplasma maligna rongga mulut. Tumor lebih sering bermetastase ke rahang daripada jaringan lunak rongga mulut. Tumor pada rahang sering terdeteksi bila timbul keluhan bengkak, nyeri, paresthesia, atau setelah menyebar ke jaringan lunak. Secara keseluruhan, tempat tumor primer metastase ke rahang berasal dari payudara, sedangkan paru-paru merupakan tempat tumor primer tersering untuk metastase ke jaringan lunak rongga mulut. Pada laki-laki, paru-paru merupakan tempat primer tersering baik untuk metastase ke rahang dan jaringan lunak rongga mulut. Regio molar mandibula merupakan tempat metastase tersering. Pada 30% kasus, lesi metastase rongga mulut merupakan indikasi pertama adanya malignansi yang tidak terdeteksi dari tubuh (19).

Manifestasi awal metastase ke attached gingiva dapat menyerupai satu dari 3 macam lesi hyperplastik reaktif pada gingiva dan harus ditegakkan dengan biopsi. Fibroma ossifikasi perifer biasanya muncul dengan bentuk kecil, berbatas tegas, bermassa padat dengan dasar berbentuk sessile atau pedunculated pada margin gingiva bebas.
Lesi merah muda pucat sampai merah diatas dapat menjadi besar dan dapat terjadi pada semua umur (insidensi puncak pada umur 20 th). Tumor pyogenik atau ”pregnancy tumor”  yang mempunyai kecenderungan berdarah, juga dapat terjadi pada attached gingiva. Lesi ini biasanya kecil (diameter kurang dari 1cm), merah, dan berulserasi. Lesi lain yang juga kecil, berbatas tegas, bermassa padat merah gelap, sessile atau pedunculated pada attached gingiva adalah granuloma giant cell perifer (20). Sebagai kesimpulan, penting untuk mengetahui macam-macam tumor yang bermetastase ke rongga mulut.
Histiocytosis sel Langerhans (Histiocytosis X)
Histiocytosis sel Langerhans (HSL) mewakili spectrum ganguan klinik dari yang sangat agresive dan penyakit mirip leukemia parah pada bayi sampai lesi soliter pada tulang (21). Hilangnya tulang alveolar pada anak-anak dengan eksfoliasi prekok gigi susu harus diduga adanya HSL. HSL dapat juga terjadi pada usia remaja dan dewasa. Dari tulang-tulang rahang, mandibula yang paling sering terlibat. Tanda-tanda yang muncul adalah nyeri, pembengkakan, ulserasi, gigi tanggal (ompong). Gambaran radiografik menunjukkan gigi tampak melayang di udara (floating in air) dikelilingi daerah radiolusen yang luas. Hal ini berkaitan dengan hilangnya tulang alveolar yang cepat. Istilah granuloma eosinofilik tulang (eosinophilic granuloma of bone) digunakan bila lesi soliter ditemukan, namun lesi multipel dapat muncul kemudian (Gbr. 5).


Kelainan Endokrin
Diabetes Mellitus (DM)
Banyak manifestasi rongga mulut pada DM, beberapa diantaranya dapat diketahui sejak awal tahun 1862. Pada umumnya gejala-gejalanya tampak parah, dan sangat progresive pada pasien IDDM (Independent Insulin DM) yang tidak terkontrol dari ada pasien NIDDM yang terkontrol. Penelitian menunjukkan bahwa umur, lama penyakit, dan tingkat kontrol metabolik memegang peranan penting timbulnya manifestasi-manifestasi rongga mulut pasien diabetes daripada jenis diabetes apakah IDDM atau NIDMM (22). Sekitar sepertiga pasien diabetes mempunyai keluhan xerostomia yang mana hal ini berkaitan dengan menurunnya aliran saliva dan meningkatnya glukosa saliva. Kemudian, pembesaran glandula parotis bilateral difus, keras, yang disebut sialadenosis dapat timbul. Proses ini tidak reversibel meskipun metabolisme karbohidrat terkontrol baik. Perubahan pengecapan dan sindrom mulut terbakar juga dilaporkan pada pasien DM tak terkontrol. Xerostomia merupakan faktor predisposisi berkembangnya infeksi rongga mulut. Mukosa yang kering dan rusak lebih mudah timbulnya infeksi oportunistik oleh Candida albican. Candidiasis erytematosus tampak sebagai atropi papila sentral pada papila dorsal lidah dan terdapat pada lebih dari 30% pasien DM. Mucormycosis dan glossitis migratory benigna juga mempunyai angka insidensi yang tinggi pada IDDM di populasi umum (22).
Telah ditemukan bahwa terdapat insidensi yang tinggi karies gigi pada pasien dengan DM yang tidak terkontrol. Hal ini dihubungkan dengan tingginya level glukosa saliva dan cairan krevikuler. Penyembuhan luka yang tidak sempurna, xerostomia yang diikuti dengan penimbunan plak dan sisa makanan, kerentanan terhadap infeksi, dan hiperplasi attached gingiva, semua memberi kontribusi meningkatnya insidensi penyakit periodontal pada pasien diabetes (23).
Hypoparatiroidisme
Penurunan sekresi hormon paratiroid (PTH) dapat terjadi setelah pengambilan glandula paratiroid, begitu juga destruksi autoimun terhadap glandula paratiroid. Sindrom-sindrom yang jarang, seperti Digeorge Syndrome dan Endocrine-candidiasis syndrome sering dihubungkan dengan keadaan ini. Hipocalcemia terjadi mengikuti turunnya hormon paratiroid (24). Chvostek sign, tanda khas hipokalsemia, dicirikan dengan berkedutnya bibir atas bila nervus facialis diketuk tepat dibawah proccesus zygomaticus. Jika hipoparatiroid timbul di awal kehidupan, selama proses odontogenesis/pertumbuhan gigi, dapat terjadi hipoplasi email dan kegagalan erupsi gigi. Adanya candidiasis oral persisten pada pasien muda menunjukkan mulai terjadinya sindrom endocrine-candidiasis (25).
Hyperparatiroidisme
Manifestasi awal hiperparatiroid adalah hilangnya lamina dura di sekitar akar gigi dengan perubahan pola trabecular rahang yang muncul kemudian. Terdapat penurunan densitas trabecular dan kaburnya pola normal yang menghasilkan penampakan ”ground glass” pada gambaran radiografiknya (26). Dengan menetapnya penyakit, lesi tulang lainnya muncul, seperti hiperparatiroid ”brown tumor”. Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan yang mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan hemosiderin dalam tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini unilokuler atau multiloculer radiolusen yang berbatas tegas yang biasanya merusak mandibula, clavicula, iga, dan pelvis. Lesi ini soliter, namun lebih sering multipel. Lesi yan bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansi cortical yang nyata. Secara histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat jaringan granulasi vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multi-nucleated osteoclast-type giant cells. Hal ini identik dengan lesi lain yang dikenal dengan lesi giant cell sentral pada rahang.
Hypercortisolisme
Hypercortisolisme atau Cushing’s syndrome, berasal dari meningkatnya glukokortikoid darah yang terus-menerus. Hal ini juga bisa berkaitan dengan terapi kortikosteroid lain atau produksi berlebih endogen dari glandula adrenal. Horman adrenokorticotropik (ACTH) yang berlebih dari tumor pituitari juga menyebabkan hipercortisolisme dan penyakit Cushing’s. Penumpukan jaringan lemak di area wajah dikenal sebagai ”moon facies”.  Pasien juga  mengalami facial hirsutism yang bervariasi. Fraktur patologis mandibula, maxilla atau tulang alveolar juga dapat terjadi karena trauma benturan ringan akibat osteoporosis. Penyembuhan fraktur, begitu juga penyembuhan tulang alveolar dan jaringan lunak setelah pencabutan gigi menjadi tertunda.
Hypoadrenocortisisme
Hypoadrenocortisisme berasal dari kurangnya produksi horman kortikosteroid adrenal karena adanya kerusakan cortex adrenal, kondisi ini dikenal sebagai hypoadrenocortisisme primer atau Addison’s disease. Hal ini biasanya berkaitan dengan autoimmune, juga dapat disebabkan karena infeksi seperti tuberculosis, tumor metastase, amyloidosis, sarcoidosis atau hemochromatosis. Hypoadrenocortisisme sekunder berkembang karena fungsi glandula pituitary yang inadequate. Manifestasi orofacial termasuk A ”bronzing” hyperpigmentasi pada kulit, terutama  pada area yang paling banyak terpapar matahari (sun-exposed area).  Hal ini disebabkan karena meningkatnya kadar beta-lipotropin atau ACTH, yang keduanya dapat menstimulasi melanosit. Perubahan kulit ini didahului oleh melanosis mukosa mulut. Pigmentasi kecoklatan difus atau bercak sering terjadi di mukosa buccal, namun dapat terjadi di dasar mulut, ventral lidah dan bagian lain mukosa mulut.

Penyakit Ginjal
Uremik Stomatitis
Stomatitis Uremia cukup jarang, hanya sering ditemui pada gagal ginjal kronik yang tidak terdiagnosis atau tidak terobati. Kerak atau plak yang nyeri sebagian besar terdistribusi di mukosa bukal, dasar atau dorsal lidah, dan pada dasar rongga mulut. Angka insidensinya telah menurun seiring dengan tersedianya peralatan dialysis di banyak rumah sakit. Mekanisme yang diterima yang melatarbelakangi timbulnya uremik stomatitis yaitu luka pada mukosa dan iritasi kimia akibat senyawa amonia yang terbentuk dari hidrolisis urea oleh urease saliva. Hal ini terjadi bila konsentrasi urea intraoral melebihi 30 mmol/L (27). Diatesis hemoragik yang berasal dari inhibisi agregasi platelet dapat juga berperan dalam terjadinya hemoragik lokal, yang menyebabkan turunnya viabilitas dan vitalitas jaringan yang terkena, yang akhirnya menyebabkan infeksi bakteri.

Ada 2 jenis uremik stomatitis (27), pada tipe I, terdapat eritema lokal atau general di mukosa mulut, dan eksudat pseudomembran tebal abu-abu yang tidak berdarah/ulserasi bila diambil. Gejala lain dapat berupa nyeri, rasa terbakar, xerostomia, halitosis, perdarahan gingiva, dysgeusia, atau infeksi candida. Pada tipe II, dapat terjadi ulserasi bila pseudomembran tersebut diambil. Tipe ini dapat mengindikasikan bentuk stomatitis yang lebih parah, infeksi sekunder, anemia atau gangguan hematologik sistemik yang mendasari ayn disebabkan oleh gagal ginjal. Secara histologik, kedua tipe uremik stomatitis tersebut menunjukkan proses inflamtorik yang berat, dengan infiltrasi berat lekosit pmn dan nekrosis mukosa mulut. Kolonisasi bakteri yan sering ditemukan adalah Fusobacterium, spirochaeta, atau candida.
Penyakit Gastrointestinal
Chron’s Disease
Pada tahun 1969, manifestasi oral penyakit Chron’s digambarkan identik dengan yang terjadi di mukosa intestinal. Secara histologi, lesi ini mempunyai gambaran granuloma non-necrotik di submucosa, yang terdiri dari sel raksasa Langerhan multinuklear, sel epiteloid, limfosit, dan sel plasma. Granuloma-granulom ini dapat bervariasi dalam ukuran dan kedalamannya di submukosa, dan insidensinya bervariasi dari 10-99% (28). Kadang-kadang granuloma ini menonjol ke dalam lumen limfatik, suatu keadaan yang disebut ”limfangitis granulomatosa endovasal” (“endovasal granulomatous lymphangitis”) (29).

Secara klinik, pasien tersebut memiliki gejala pembengkakan difus pada satu atau kedua bibir, dengan angular cheilitis, dan ”cobblestone” pada mukosa buccal dengan mukosa yang rigid dan hiperplastik. Dapat juga terjadi nyeri ulserasi pada vestibulum bukal, pembengkakan terlokalisir yang tidak nyeri pada bibir atau wajah, fissure pada garis tengah bibir bawah, dan edema erythematos gingiva (30). Limfonodi servik dapat menjadi keras dan terpalpasi. Tidak ada hubungan waktu yang langsung antara intestinal dan lesi rongga mulut.  Lesi rongga mulut telah terbukti mendahului lesi intestinal selama bertahun-tahun, dan pada beberapa kasus dapat menjadi satu-satunya manifestasi penyakit Chron’s. Lesi rongga mulut hanya dapat berefek dengan steroid sistemik.

Kolitis Ulseratif
Kolitis Ulseratif telah dihubungkan dengan ulserasi oral destruktif akibat dari immunemediated vasculitis (31). Penyakit ini mirip dengan ulser aphtosa, namun lebih jarang dari Chron’s Disease. Pyostomatitis vegetans merupakan manifestasi oral dari colitis ulseratif, berwujud mikroabses intraepitelial multipel tanpa nyeri  dalam garis lurus atau berkelok-kelok di mukosa lidah, soft palatum, ventral lidah. Pyostomatitis gangrenosum merupakan varian lain yang cukup hebat dengan ulser yang besar, destruktif, dan bertahan lama yang menimbulkan jaringan parut yang sangat nyata (32).

Kesimpulan
Penyakit sistemik sering muncul dengan abnormalitas struktur rahang dan rongga mulut. Pemahaman yang tepat tentang penyakit rongga mulut dapat mendukung pelacakan, penegakan dianosis dan pengobatan penyakit sistemik yang mendasarinya. Diagnosis yang tepat penting untuk memulai pengobatan yang benar. Dokter pada pelayanan primer serta dokter gigi sebaiknya mengetahui masalah tersebut.






Tinjauan Pustaka

1. Zegarelli DJ. Fungal infections of the oral cavity. Otolaryngol Clin North Am 1993; 26:1069-1089.
2. Kelleher M, Bishop K, Briggs P. Oral complications associated with sickle cell anemia: A review and case report. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:225-228.
3. Lynch MA, Ship II. Initial oral manifestations of leukaemia. J Am Dent Assoc 1967; 75:932-940.
4. Hiraki A, Nakamure S, Abe K, et al. Numb chin syndrome as an initial symptom of acute lymphocytic leukemia: Report of three cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:555-561.
5. Jones AC, Bentsen TY, Freedman PD. Mucormycosis of the oral cavity. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:455-460.
6. Childers NK, Stinnett EA, Wheeler P, et al. Oral complications in children with cancer. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993; 75:41-47.
7. Lee S, Huang J, Chan C. Gingival mass as the primary manifestation of multiple myeloma: Report of two cases. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:75-79.
8. Witt C, Borges AC, Klein K, Neumann H. Radiographic manifestations of multiple myeloma in the mandible: A retrospective study of 77 patients. J Oral Maxillofac Surg 1997; 55:450-453.
9. Blomgren J, Back H. Oral hairy leukoplakia in a patient with multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 82:408-410.
10. Reinish EI, Raviv M, Srolovitz H, Gornitsky M. Tongue, primary amyloidosis, and multiple myeloma. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1994; 77:121-125.
11. Lilly JP, Fotos PG. Sjogren's syndrome: Diagnosis and management of oral complications. Gen Dent l996; 44:404-408.
12. Daniels TE. Sjogren's syndrome: Clinical spectrum and current diagnostic controversies. Adv Dent Res l996; 10:3-8.
13. Atkinson JC, Fox PC. Sjogren's syndrome: Oral and dental considerations. J Am Dent Assoc 1993; 124:74-86.
14. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 878-879
15. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 800-801.
16. Rose LF, Kaye D. Internal medicine for dentistry. 3rd ed. St. Louis (MO): Mosby Yearbook; 1990. pp. 93-94.
17. Cohen AS, Canoso JJ. Criteria for the classification of systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 1972; 15:540-543.
18. Gynther GW, Tronje G, Holmlund AB. Radiographic changes in the temporomandibular joint in patients with generalized osteoarthritis and rheumatoid arthritis. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1996; 81:613-618.
19. Hirshberg A, Leibovich P, Buchner A. Metastatic tumors to the jawbones: Analysis of 390 cases. J Oral Pathol Med 1994; 23:337-341.
20. Bodner L, Peist M, Gatot A, Fliss DM. Growth potential of peripheral giant cell granuloma. Ora1 Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 1997; 83:548-551.
21. Cleveland DB, Goldberg KM, Greenspan JS, et al. Langerhans' cell histiocytosis: report of three cases with unusual oral soft tissue involvement. Oral Surg Ora1 Med Oral Pathol Ora1 Radiol Endod 1996; 82:541-548.
22. Oliver RC, Tervonen T, Flynn DG. Enzyme activation in crevicular fluid in relation to metabolic control of diabetes and other risk factors. J Periodontol 1993; 64:358-362.
23. Falk H, Hugoson A, Thorstensson H. Number of teeth, prevalence of caries and periapical lesions in insulin-dependent diabetics. Scand J Dent Res 1989; 97:198-206.
24. Spiegel AM. Hypoparathyroidism. In: Wyngaarden JB, Smith LH Jr, Bennett JC, editors. Cecil’s textbook of medicine. Philadelphia: W.B. Saunders; 1992. pp. 1419-1420.
25. Walls AWG, Soames JV. Dental manifestations of autoimmune hypoparathyroidism. Oral Surg Oral Med Oral Path 1993; 75:445-452.
26. Hayes CW, Conway WF. Hyperparathyroidism. Radiol Clin North Am 1991; 29:85-96.
27. Ross WF, Salisbury PL. Uremic stomatitis associated with undiagnosed renal failure. Gen Dent 1994; 9/10:410-412.
28. Giller JP, Vinciguerra M, Heller A, et al. Treatment of gingival Crohn=s disease with laser therapy.N Y State Dent J 1997; 5:32-35.
29. Eveson JW. Granulomatous disorders of the oral mucosa. Semin Diagn Pathol 1996; 13(2):118-127.
30. Williams AJK, Wray D, Ferguson A. The clinical entity of orofacial Crohn=s disease. Q J Med 1991; 289:451-458.
31. Beitman RG, Frost SS, Roth JLA. Oral manifestations of gastrointestinal disease. Dig Dis Sci 1981; 26(8):741-747.
32. Tyldesley WR. Mouth lesions as markers of gastrointestinal disease. Practitioner 1983; 227:587-590.